Lokomotif Hitam


Itu pertama baginya ada ditempat antah berantah selarut ini. Dingin dan basah dari hujan yang jatuh sejak sore tadi.

kenapa aku tidak ikut mereka saja? kenapa aku harus keras kepala? Sedikit kecewa terpancar di wajahnya, lalu ia tersenyum. Entahlah, mungkin bocah ini sudah gila.

Awan hujan pergi, berganti senja menghampiri . Ia berdiri di depan lokomitif kereta uap tua yang juga ikon kota itu. Tubuhnya hanya dibalut selembar kaus tipis berwarna biru, sedang jeans dan sepatunya tidak kalah lembab dengan kaus itu. Dalam kondisi saat itu, ia masih tersenyum, karena ia tidak benar-benar sendiri.

“kamu 78 juga?” tanya gadis itu.

“iy.. iya. Kamu juga ya?”

“Oh ya, thanks buat hoodie nya ya” ucapnya seraya melepaskan hoodie yg dikenakannya.

never mind!” seru anak laki-laki itu. “kamu pake aja dulu. Ini masih dingin loh.. ”

Dannies hanya tidak sadar betapa Vino telah memperhatikannya sejak pertama mereka dikirim pihak sekolah tiga hari yang lalu. Sejak itu, ke-30 pelajar dari sekolah mereka menginap disatu hotel yang sama. Mereka disiapkan untuk acara nasional yang akan dihadiri orang nomor satu di Indonesia saat itu.

Vino teringat akan peristiwa diawal kedatangan rombongan sekolah waktu itu. Sejak turun dari bis, Dannies sudah mengasingkan diri dari rombongan. Rasa penasaran menarik Vino ikut bersama Dannies ke stasiun kereta didekat hotel. Ia lalu mendapati Dannies bermain dengan tiga anak kucing didalam lokomotif hitam disamping stasiun. Wanita ini pasti punya naluri kucing yang kuat, pikirnya.

“Kamu.. suka kucing ya?” tegur Vino.

gadis itu menoleh kearahnya,“aku sama seperti mereka..”

Saat itu Vino tidak mengerti barang sedikit maksud ucapan Dannies. Yang ia tahu, ada awan cumulonimbus di mata Dannies. Padahal, menurutnya, jika mata itu bisa tersenyum, mungkin panoramanya akan lebih indah dari langit jingga yang selalu ia tunggu tiap senja.

Selepas event yang cukup berhasil siang itu, mereka sejatinya akan pulang bersama-sama dengan bis yang sama yang mengantarnya. Namun, saat itu Dannies kembali menghilang dari rombongan, ketika awan badai mulai tiba. Vino sangat yakin kemana Dannies pergi, ia satu-satunya relawan yang bersedia menyusul kesana.

Benar saja. Dannies ada di lokomotif hitam itu. Ia memeluk tiga kucing kecil itu dipangkuannya, berselimutkan handuk kecil milik Dannies.

“Dan, Bis nya.. ”

“Aku ga bisa pergi sekarang. Mereka bisa mati kedinginan dibawah badai” liriknya ke Vino.

Selama tiga hari disini, dannies rutin mengunjungi Daging, Kentang dan Kerang – tiga anak kucing yang dikenalnya sejak dua hari yang lalu. Kembali berhadapan dengan mata itu, Vino tak bisa berbuat banyak. Seketika saja ponsel disakunya bergentar, telfon dari teman sekelasnya yang menunggu di Bis.

Kalian bisa pergi duluan. Dannies bisa pulang sama saya nanti.

Ada protes dari teman-teman dekatnya, begitupun dengan rasional Vino saat itu. Namun tubuhnya berontak, tak ingin beranjak dari tempat itu, tanpa Dannies.

Saat ini, mereka masih menunggu angkutan kota 78 yang tak kunjung muncul. Badai sore tadi seolah menyapu angkutan umum di kota itu. Begitupun dengan kenderaan umum yang biasa menunggu di depan stasiun.

“Dan, kamu denger suara orang menabuh drum ga?”

“Itu! Disana.. ” tunjuk Dannies.

Angkot 78 dan lainnya muncul bersama dari kejauhan dengan massa yang melimpah hingga penuhi atapnya. Ada truk dan bis juga disana. Satu diantaranya berhenti tepat didepan mereka berdua.

“Kalian mau ikut nonton bola juga gak?” ajak seorang kakek dari atap angkot 78.

“… ” Dannies dan Vino saling melirik. Rumah mereka berdua memang tidak jauh dari stadion kota itu.

“mau!!!”

Sepi yang menyelimuti Dannies dan Vino sedari tadi berganti yell-yell dan nyanyian sepanjang perjalanan ke Stadion. Baik Vino maupun Dannies tidak suka akan sepakbola, sebelumnya. Sampai mereka melihat sendiri, bagaimana ribuan wajah berbagi semangat. Ditambah kembang api yang menembus dingin, menyinari langit malam itu.

Vino melihatnya. Dannies tersenyum, beban nya lepas, lupa dengan apa yang mengganggunya selama ini. Dalam benaknya, Vino ingin menjadi alasan bagi Dannies untuk bisa tertawa seperti itu, suatu hari nanti.

Setiap manusia punya sejarah sendiri, yang mendasari persepsinya. akumulasi pengalaman mereka lah yang menjadikan setiap pribadi itu unique. 

Vino, Lokomotif Hitam

Tinggalkan komentar