Penyebaran Temuan Pengetahuan Kepada Masyarakat Untuk Mendorong Sistem Demokrasi yang lebih tepat sasaran


Era globalisasi yang (bisa dibilang) suskes meningkatkan hubungan diantara entitas-entitas dunia menjanjikan banyak hal, diantaranya adalah meningkatnya Inovasi ide-ide yang ada. Ini dimungkinkan dengan semakin mudahnya informasi, gagasan, ide bahkan gossip menyebar dari suatu tempat (ruang) ke ruang lain didunia dalam waktu yang sangat sedikit (efisien).

Kita mengenal berbagai profesi dan minat dalam kehidupan ini, tapi untuk pembahasan lebih lanjut tentang tulisan ini, saya akan coba menggolongkannya kedalam 3 kategori, yakni:

  1. Pemerintah
  2. Masyarakat, dan
  3. Ilmuan (Scientist).

Tiga status profesi  ini diambil untuk melihat bagaimana nilai-nilai Demokrasi (yang kata’nya’ baik) bisa dimaksimalkan sebagaimana ia diharapkan. Demokrasi sejak dulu berbicara soal “oleh rakyat, untuk rakyat” , nah, agar tidak sekedar menjadi tagline yang bagus, tentu kita harus telaah lebih jauh ‘akar’ dari sistem pemerintahan ini, yakni Rakyat/ Masyarakat.

Rakyat, dalam demokrasi procedural, bisa memilih langsung “takdirnya”, lewat pemilihan umum. Namun, tetap saja, takdir yang dikehendaki satu orang akan berbeda dengan yang lain, begitulah pandangannya diimplementasikan dalam pilihannya pada PEMILU. Sebagian ada yang rela memilih seekor kadal sekalipun, jika dibayar. Ada juga yang berpikir matang tentang seberapa besar pilihanya mampu MEMBERI dirinya, lebih dari jumlah “politik-uang” itu, lewat kemakmuran (prosperity). Ada juga yang mengawang-ngawang, maksudnya ia memposisikan diri sebagai orang yang harus memilih, tapi tidak tahu apa-apa soal pilihannya, tapi, setidaknya ia lebih baik dari masyarakat yang tidak memilih alias GOLPUT (Golongan Putih).

Kenapa “Pengetahuan” (secara luas), bukan sekedar “Pengetahuan Politik”, kalau memang Cuma untuk Demokrasi?

Dalam proses politik, terutama pengambilan keputusan, kita mnegenal yang namanya input (masukan) berupa aspirasi masyarakat, baik lewat survey, lembaga politik, LSM dan sebagainya. Keputusan yang diambil pemerintah pun tidak tertutup pada urusan yang high politics saja.  Misalnya dalam pemberantasan kemiskinan, dimana saat ini pemerintah mulai bergerak dengan pendekatan yang lebih efektif, tidak lagi sekedar memberikan BLT (Bantuan langsung tunai) atau Operasi Pasar. Ada upaya-upaya untuk meningkatkan budaya ekonomi Indonesia, diantaranya membagun jiwa entrepreneur (kewirausahaan), lewat program-program pemerintah. Nah, untuk menetaskan kebijakan ini, pengetahuan politik hanya sedikit perannya, sedangkan disiplin lain banyak member sumbangan terhadap program ini, diantaranya Psikologi, ekonomi, dan sosiologi.

Begitupun dengan perusahaan dan institusi swasta, dalam pengambilan keputusannya, ia tidak melulu melibatkan satu unsur disiplin ilmu. Dengan kata lai, wawasan luas akan memberikan kesempatan kita untuk lebih mampu menemukan celah dalam menyelesaikan sebuah masalah. Itulah pentingnya pengetahuan yang luas dalam pengambilan keputusan di system demokrasi, untuk memperkaya khasanah perspektif kita dalam memandang suatu fenomena nasional.

  • Kebodohan Mencederai Demokrasi

Menyerahkan suatu keputusan pada masyarakat sebagai wujud nyata dari demokrasi adalah hal yang tepat, namun belum serta merta mampu menghasilkan keputusan yang tepat. Tingkat pendidikan yang menjadi indikator wawasan/pengetahuan individu berpengaruh signifikan pada keputusan bersama yang dihasilkan dalam demokrasi. Untuk individu yang tidak memiliki pengetahuan/wawasan yang memadai, suaranya mungkin hanya dihargai sangat kecil olehnya. Sedangkan bagi individu yang memiliki pengetahuan tinggi, terlebih individu tersebut merupakan seorang ilmuan, maka suaranya bernilai sangat berharga, hal ini dikarenakan ia mampu mempertimbangkan pilihannya secara matang beserta konsekwensi yang akan diterimanya dengan memberikan pilihan tersebut. Kendati kedua individu ini dilihat tidak memiliki penghargaan yang sama besar terhadap proses demokrasi, namun dalam demokrasi keduanya memiliki suara yang sama nilainya.

Keputusan satu individu yang dipertimbangkan secara matang, akan terciderai oleh suara atau pilihan dari individu yang tidak begitu hirau atau peduli dalam proses demokrasi. Dalam hal ini, terlihat pentingnya sosialisasi politik. Selain itu, sewajarnya masyarakat untuk mengetahui apa yang seharusnya didapatkan (hak) dalam proses demokrasi yang mengoptimalkan campur tangan rakyat dalam pengambilan keputusan.

  • Komunikasi antara sumber informasi , mediator dan penerima (pembaca)

 

Dalam bab 7 buku Scientist and the media, tulisan tersebut memaparkan bab Scientist as Citizen. Bagian ini membahas tentang efektifitas pengendalian kesadaran masyarakat lewat campur tangan media. Ilmuan atau peneliti, banyak menemukan fakta-fakta baru tentang kehidupan, sebuat saja golbal warming.

Diceritakan dalam artikel tersebut, suatu situasi dimana seorang jurnalis bertanya, “apakah benar hal seperti ini yang menyebabkan global warming?” (memeragakan menyemprot deodoran). Situasi ini kurang lebih menggambarkan kesenjangan dalam tingkat kepedulian satu orang dengan lainnya. Individu yang perduli pasti akan mencari penyebab dari global warming, hingga kepada hal-hal kecil yang bahkan tidak dirasa oleh orang lain sebagai ancaman. Sedangkan yang lain yang tidak perduli, bahkan tidak tahu zat pendingin dalam AC dan kulkas menyumbang peran besar untuk menjebol lapisan ozon yang melindungi bumi.

Seseorang dengan pengetahuan lebih, mengetahui ancaman dan kesempatan yang lebih luas akan suatu hal atau fenomena. Misalnya, seorang wanita yang takut dengan serangga tomcat, karena ia melihat temannya terkena infeksi dari serangga itu. Bisa saja wanita itu menjadi takut ketika melihat semut yang menyerupai tomcat. Sedangkan orang lain, yang sama sekali tidak tahu, entah itu wujudnya atau dampak yang bisa diakibatkan racunnya, ia tidak akan begitu peduli jika ada tomcat hinggap ditubuhnya.

“Untuk berpikir sama seperti saya, anda harus memiliki wawasan yang sama, sehingga membentuk pandangan (persepsi) yang sama pula”,Begitulah persepsi ancaman bagi orang bisa terasa berbeda.

Sekarang, global warming bukanlah maslaah bagi suatu individu, kelompok, atau bangsa saja. Seperti namanya, ia masalah bagi dunia secara keseluruhan, bukan hanya manusia. Tapi, sebagai makhluk yang (merasa) berada dipuncak rantai makanan dan paling ber-akal diduna ini, manusia punya andil yang besar dalam mengahadapinya.

Sayangnya, karena wawasan yang tidak merata itulah, tidak semua orang merasakan ancaman global warming sama hebatnya. Beberapa upaya untuk menyadarkan masyarakat dunia sudah dilakukan oleh lembaga-lembaga pecinta lingkungan, organisasi non provit, lewat kampanye kampanye diseluruh dunia. Lalu, apakan ini hanya masalah segelintir orang tersebut saja? Kenapa sebagian besar lagi masih santai disepan sofa dengan TV 90 inci menyala, air yang terus melimpah dikamar madinya, dan lampu menyala diseluruh ruangan. Apa karena ia merasa tidak akan hidup cukup lama untuk merasakan dampak buruk global warming? Atau mungkin ia membayar pajak berlebih sehingga tanggung jawabnya terhadap dunia dan lingkungan diserahkan kepada pemerintah?

Kalau ia sadar, bahwa masalah kolektif, paling efektif diselesaikan secara kolektif pula. Dibutuhkan kesadaran dari tingkat terkecil kehidupan sosial, yakni individu. Misalnya, jika tiap satu orang mematikan lampu bertegangan 35 watt dalam waktu 1 menit, sedangkan penduduk dunia berjumlah 10 milyar, maka kita menghemat 35 miliyar watt pada masa itu. Beda halnya jika satu bangsa mematikan seluruh listriknya selama satu bulan, energy yang dihemat belum bisa menyamai penghematan dunia dalam 1 menit saja. Mungkin itulah yang mendasari kampanye lingkungan hingga melahirkan “earth hour”.

Terlepas apakah global warming itu merupakan sesuatu yang sangat nyata dan murni atau sebenarnya mempunyai agenda politik dibaliknya, kita sudah seharusnya mengetahui ancaman yang ada. Karena hamper setiap interaksi dilandaskan pada kepentingan. Keputusan paling bijak adalah memiliki pengetahuan itu sendiri untuk membangun keyakinan yang absolute atas suatu fenomena.

  •  Pengetahuan dan Power (Discourse of Power)

Diskursus power dari Foucault, tampaknya cukup menyadarkan kita akan pentingnya memiliki wawasan yang luas, bahkan sebagai warga Negara (saja) sekalipun. Foucault menekankan hubungan antara Kekuasaan dan pengetahuan sebagai suatu hal yang sangat berkaitan. Kekuasan menurut Foucault tidak selalu negatif. Kekuasaan justru dapat menjadikan sesuatu yang produktif. Misalnya seseorang yang kritis dan mempertanyakan semua aturan justru lahir dari dampak pengetahuan dan kekuasaan yang represif/otoriter. Kemudian kekritisan itu melahirkan pemikiran baru tentang pengetahuan dan kekuasaan yang baru pula. Foucault menjelaskan bahwa dengan adanya kekuasaan maka akan menimbulkan resistensi perlawanan. Sehingga resisten dalam bentuk perlawanan itu justru lahir dari kekuasaan itu sendiri.

Menurut Foucault, hubungan antara pengetahuan dan power sangat dekat. “Pengetahuan adalah kekuasaan”, yang berarti pengetahuan adalah instrument atau alat kekuasaan, walaupun keduanya hadir secara terpisah. Pokok pemikiran Foucault ini adalah bahwa, setidaknya dalam studi mengenai kehidupan manusia, tujuan power (pengaruh, kekuasaan) dan pengetahuan tidak dapat dipisahkan. Dengan mengetahui kita mengendalikan, dan dalam mengendalikan kita tahu (Stanford Encyclopedia of Philosophy, 2013).

Sedangkan dalam HI, kita tahu barat selama beberapa decade berada dalam masa kejayaannya. Bahkan pengetahuan dan ilmu Hubungan Internasional sendiri lahir dari barat, dengan gagasan-gagasan dari barat. Padahal, untuk interaksinya, hubungan internasional telah terjadi, mungkin beratus-ratus atau beribu-ribu tahun lamanya. Akibatnya, barat bisa mengendaliakn dengan membentuk norma-norma serta aturan hubungan antar bangsa sejak saat itu. Dimulai dari konsep nation state, syarat berdirinya suatu Negara, hukum internasional, konvensi-konvensi perang, hukum diplomatic dan konsuler, dan sebagainya.

Hal yang sama terjadi dalam HI dari sudut pandang teoritis. Pemikir-pemikir besar HI awalnya kita kenal berasal dari barat. Padahal, ada banyak tokoh non-barat dibalik gagasan-gagasan itu, namun tidak terekspose. Semakin kesini, pengetahuan dan ilmu HI semakin beragam sumbernya, tidak lain adalah karena mulai merata dan bangkitnya power-power dari dunia ketiga, setidaknya itulah yang saya amati sebagai buah pikiran Foucault tentang genealogi studi HI. Jadi, jika tidak mau dikendalikan oleh pandagan barat (others), bangunlah pandangan sendiri dengan memiliki pengetahuan sendiri. Inilah yang harus kita manfaatkan dalam keunggulan system demokrasi yang kita anut.

Daftar Pustaka