Soft Power melalui Diplomasi Budaya Dalam Praktik Hubungan Internasional


Pada tingkatan yang sangat umum, Power adalah kemampuan mempengaruhi perilaku seseorang sesuai yang diinginkan orang tersebut. Ada beberapa cara dalam mempengaruhi perilaku subjek lain:

  • Memaksa dengan Ancaman
  • Membujuknya dengan bayaran
  • Membuatnya tertarik atau bekerjasama dengan mereka

 

Hard power, sebagai lawan kontras dari Soft Power merupakan cara mempengaruh tindakan yang lain sesuai dengan keinginan yang menginginkannya dengan cara memaksa atau kekerasan. Kekerasan akan menimbulkan kekerasan yang lain sehingga hal ini akan menimbulkan konflik yang tak berujung. Untuk itulah dibutuhkan pendekatan lain terhadap kepentingan ini. Agar kedua pihak tidak ada yang merasa dirugikan, yakni Soft Power.

“Power”, Menururt Josep S. Nye, adalah “kemampuan dalam mempengaruhi perilaku yang lain”. Soft Power adalah kemampuan dalam menjadi “menarik”, sehingga bisa bekerjasama dengan yang lain. Sumber Daya utama dari Soft Power adalah kebijakan luar negeri, budaya dan nilai atau norma-norma.[1] Soft Power mempengaruhi sesorang secara tidak langsung tanpa disadari oleh subjek tersebut. Perdana menteri India, Mnmohan Singh berkomentar: “Pengaruh India telah melintasi asia melalui budaya, bahasa, agama, emikiran dan nilai-nilai, bukan melalui pertumpahan darah”[2]. Hal ini sudah menunjukan bahwa Soft-Power sangat selaras dengan pemikiran Studi Hubungan Internasional, yakni interkasi global yang tetap mengutamakan perdamaian sekalipun terdapat kepentingan-kepentingan yang berbeda.

Penyebaran Hinduism dan Budhism ke Asia Tenggara merupakan investasi emas India melalui Soft Power yang sudah terjadi pada abad pertama. Sekarang, seolah merupakan momentum bagi India untuk memanen keuntungan dari hal tersebut.

Seorang eksekutif yang cerdas mengetahui bahwa kepemimpinan bukan hanya tentang bagaimana memerintah orang lain, tetapi juga memimpin dengan memberi contoh dan membuat orang lain tertarik untuk melakukannya.

Dengan mengkaji Soft Power Diplomasi Budaya ini, kita bisa mengetahui dan lebih menyadari pentingnya langkah pendekatan ini untuk dilakukan. Hubungan Internasional mengkaji hubungan antar negara dan sebisa mungkin menhindari terjadinya konflik, atau bahkan perang. Padahal, diantara negara-negara tersebut terdapat kepentingan-kepentingan yang berkaitan dengan negara lainnya. Yang mau tidak mau, ia harus melakukan interaksi dengan negara tersebut untuk mencapai keinginan dan kebutuhannya. Menurut perspektif Realis, Negara kuat bisa melakukan apa yang mereka pantas lakukan terhadap negara lemah. Namun hal ini tentu akan sangat rawan menimbukan konflik. Itulah yang berusaha dihindari oleh Studi Hubungan Internasional dan seluruh masyarakat dunia.

Tidak semua “Hard Power” segera mendatangkan apa yang dibutuhkan. Kadangkala Hard power yang tidak mampu membuat lawannya menururti apa yang diinginkan malah akan memperpanjang proses dalam mencapai kepentingan tersebut.

Untuk itulah sekarang ini lebih gencar dipeomosikan diplomasi melalui budaya, ini merupakan salah satu interaksi dengan menggunakan Soft Power. Seperti apa yang dikatakan Perdana Menteri  India, bahwa negaranya telah mempengaruhi asia bahkan dunia melalui budayanya. Masyarakat dunia melihat budaya India, dari berbagai fil nya yang melintasi batas negara. Atau seperti Jepang dengan Kimono, bahasa bahkan manga (komik jepang) yang bahkan melahirkan “Otaku”, yakni sebutan bagi orang-orang yang sangat ambisius dan tergila-gila dengan budaya dan kebiasaan jepang.

Ketika seseorang mengagumi bahkan tergila-gila dengan suatu budaya, ia bukan hanya akan mencari tahu tentangnya, tapi bahkan akan menyebarluaskannya, sehingga dikenal menjadi mode tersendiri bagi mereka. Budaya yang masuk akan dengan mudah mempengaruhi orang yang terobsesi tersebut.

Dr. Musni Umar, salah seorang anggota forum Eminet Person Group (EPG) mengatakan pentingnya pendekatan Soft-power setidaknya dilandasi lima alasan.

  1. Pendekatan kekerasan (Hard Power) tidak pernah bisa menyelesaikan suatu masalah, bahkan kekerasan cenderung memicu terjadinya kekerasan lain.
  2. Pendekatan Soft-Power lebih mudah dilakukan karena tidak ada yang tersinggung, dan tidak ada yang merasa disakiti dan merasa dikalahkan.
  3. Pendekatan Soft-power akan melahirkan persaudaraan sejati, yang sama-sama menenggang perasaan dan tidak saling menyakiti.
  4. Pasti memberi manfaat yang lebih besar daripada pendekatan Hard Power.
  5. Pendekatan Hard Power sebagai lawan daripada pendekatan Soft Power, dapat  memberi pelajaran pada kedua bangsa, bahwa tidak ada yang untung kalau terjadi konfrontasi.[3]

Soft Power telah menjadi salahs atu kuci dalam kepemimpinan. Kemampuan untuk membuat orang lain tertarik dan melakukan sesuai dengan apa yang kita inginkan tanpa harus secara langsung memintanya, subjek tersebut akan melakukannya kendati itu bukan keinginannya dan ia sesungguhnya tidak ingin lmelakukan hal yang demikian itu.

Soft Power Yang Dilancarkan Indonesia

Selama ini baik presiden maupun Menlu sering mengatakan bahwa kita memiliki beberapa asset yang bisa dipergunakan atau dimanfaatkan sebagai element dar Soft Power Indonesia. Yang pertama adalah Demokrasi, Kedua, Islam Moderat dan Ketiga, tingkat Pluralistik Indonesia yang sangat tinggi yang oleh karenanya di saat yang bersamaan dapat menonjolkan the Ideology Of Tolerans.[4]

Prosedur Demokrasi kita dianggap sebagai yang terbaik ketiga di dunia, walaupun belum melaksanakan Demokrasi sesuai nilai-nilai yang semestinya. Namun ini tetap menjadi panutan bagi negara lain untuk menjalankan pemerintahanDemokrasi yang lebih baik lagi.

Indonesia, melalui kementrian luar negeri dan institusi pendidikan telah melakukan beberapa langkah dalam melakukan diplomasi budaya tersebut.  Seperti yang pernah dikabarkan dalam Tabloid Diplomasi tahun 2009, “Duta Belia” melakukan Diplomasi Angklung. Universitas Padjadjaran, misalnya, pernah mengirimkan perwakilannya untuk membawakan tarian kebudayaan melalui kunjungan keluar negeri. Tiap-tiap kedutaan besar di luar negeri bahkan mengadakan kegiatan tahunan untuk melancarkan “serangan budaya” ini. Seperti yang dilaksanakan di belanda. Mereka, kedutaan besar RI untuk Belanda, mengadakan kegiatan “Pasar Malam” yang merupakan kebiasaan dari masyarakat Indonesia, juga tentunya pameran-pameran kebudayaan di luar negeri. Yang memperlihatkan tarian-tarian daerah serta hasil-hasil karya seni dari masing-masing daerah yang bahkan menjadi Ikon diluar negeri, seperti keris dan batik misalnya.

Pernah satu ketika saya menyaksikan sebuah tayangan dari MTV, yang memperlihatkan pahatan asli dari indonesia. Hal ini menunjukan bahwa pengaruh Indonesia telah sampai jauh ke belahan dunia lain sana. Hasil hasil karya seni buatan tradisional tersebut mungkin tidak sejelas pengaruh jepang terhadap “Otaku” nya, namun hal ini merupakan proses panjang dimana Indonesia sendiri memiliki berbagai ragam kebudayaan dan seni yang bisa dianggap sebagai “amunisi” negara dalam berperang kebudayaan.

Bukan hanya dikalangan akademis Universitas, bahkan di tingkat SMP dan SMA sudah ada putra putri bangsa yang dikirim untuk membawakan tarian maupun kesenian daerah lainnya ke luar negeri sebagai upaya mempromosikan budaya kita terhadap pihak asing. Melihat hal ini, budaya bahkan menjadi rebutan bagi banyak pihak, seperti kasus klaim malaysia terhadap beberapa kesenian milik Indonesia beberapa waktu lampau.

Promosi kebudayaan Indonesia bukan hanya dari pengiriman seniman daerah keluar negeri, tapi bahkan pramugarI di maskapai Indonesia sudah dibiasakan untuk berseragam Batik. Hal ini akan menjadi nilai tambah kita terhadap penumpang yang berasal dari luar Indonesia. Budaya merupakan karakter bangsa, sehingga jika berhasil menanamkan suatu kebudayaan kepada kebudayaan tertentu, hal ini akan memeudahkan untuk negara tersebut mempengaruhi dan memasuki negara tersebut, baik melalui sektor perdagangan maupun sektor-sektor lain yang potensial sesuai budayanya tersebut.

Jika Indonesia ingin mengikuti persaingan Soft Power ini, ia harus mencari nilai-nilai yang menarik terhadap pasar di Asia. Kita harus menggali lagi apa yang merupakan budaya kita.

Setidaknya dalam perang kebudayaan ini, tidak terjadi pertumpahan darah, tidak ada yang merasa dikalahkan dan kedua pihak mendapatkan apa yang menjadi kepentingannya.

 


[1] Siswo Pramono. 2011. Resources of Indonesian Soft Power Diplomacy. Jakarta: Jakarta Post. Diakses dari : http://www.thejakartapost.com/news/2010/06/28/resources-indonesian-soft-power-diplomacy.html. Pada 26 mei 2011, pukul 14:31 WIB.

[2] Siswo Pramono. 2011. Resources of Indonesian Soft Power Diplomacy. Jakarta: Jakarta Post. Mengutip dari : www.pmindia.nic.in. Dikases dari : http://www.thejakartapost.com/news/2010/06/28/resources-indonesian-soft-power-diplomacy.html. Pada 26 mei 2011, pukul 14:31 WIB.

[3] Suryanto. 2011. Indonesia-Malaysia Perlu Diplomasi Soft Power. (Antara News: Jakarta) diakses dari http://www.antaranews.com/news/248100/indonesia-malaysia-perlu-diplomasi-soft-power Pada 26 Mei 2011, Pukul 14:05

[4] Rizal Sukma. 2009. Tabloid Diplomasi : Soft Power Tidak Akan Berarti Jika Tidak Diimbangi Dengan Hard Power. Dikases Dari: http://www.tabloiddiplomasi.org/previous-isuue/46-september-2008/336-soft-power-tidak-akan-berarti-jika-tidak-diimbangi-dengan-hard-power.html. Pada tanggal 26 Mei 2011, Pukul 14:26 WIB.