Pengantar Hukum Internasional


Pengertian Hukum

Menurut L.J. Van Apeldoorn apa yang ditulis oleh Kant 150 tahun lalu: “Noch Suchen Die Juristen Eine Definition zu ihrem begriffe von recht” masih tetap berlaku.

Hukum memiliki banyak segi dan demikian luasnya sehingga tidak mungkin orang menyatakannya dalam satu rumus secara memuaskan.

Mochtar Kusumaatmadja

Keseluruhan asas dan kaidah yang mengatur pergaulan hidup manusia dalam masyarakat, juga meliputi lembaga (institusi) dan proses yang mewujudkan kaidah tersebut dalam masyarakat.

Aristoteles
Sesuatu yang berbeda dari sekedar mengatur dan mengekspresikan bentuk dari konstitusi dan hukum berfungsi untuk mengatur tingkah laku para hakim dan putusannya di pengadilan untuk menjatuhkan hukuman terhadap pelanggar.

Hugo de Grotius
Peraturan tentang tindakan moral yang menjamin keadilan pada peraturan hukum tentang kemerdekaan (law is rule of moral action obligation to that which is right).

Tujuan hukum menurut ahli

  • Prof. Mr. Dr. L.J. van Apeldoorn,
    Tujuan hukum adalah mengatur pergaulan hidup manusia secara damai. Hukum menghendaki perdamaian. Perdamain diantara manusia dipertahankan oleh hukum dengan melindungi kepentingan-kepentingan hukum manusia tertentu, kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta benda terhadap pihak yg merugikan.
  • Aristoteles
    Hukum mempunyai tugas yang suci yaitu memberi kepada setiap orang yang ia berhak menerimanya. Anggapan ini berdasarkan etika dan berpendapat bahwa hukum bertugas hanya membuat adanya keadilan saja.

 Pengertian HukumInternasional ?

J.G. STARKE mendefenisikan Hukum Internasional sebagai keseluruhan hukum yang untuk sebagian besar terdiri dari prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah perilaku yang terhadapnya negara-negara merasa dirinya terikat untuk menaati, dan karenanya, benar-benar ditaati secara umum dalam hubugan-hubungan mereka satu sama lain.

Kusumaatmadja (1999; 2) Mendefenisikan Hukum internasional sebagai keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas negara, antara negara dengan negara dan negara dengan subjek hukum lain bukan negara atau subyek hukum bukan negara satu sama lain’’.

Tujuan Hukum Internasional menurut Starke?

Tujuan hukum internasional lebih  mengarah kepada upaya untuk menciptakan ketertiban dariapada sekedar menciptakan hubungan-hubungan internasional yang adil, akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya telah terbukti adanya suatu upaya untuk menjami secara obyektif, adanya keadilan diantara negara-negara.

Pengkuan?

Ada dua teori pokok mengenai hakikat, fungsi dan pengaruh pengakuan, yaitu:

  1. 1.       Teori Konstitutif

Menurut teori ini, hanya tindakan pengakuanlah yang menciptakan status kenegaraan atau yang melengkapi pemerintah baru dengan otoritasnya di lingkungan internasional

  1. 2.       Teori Deklaratoir atau Evidenter (declaratory atau Evidentiary Theory)

Menurut teori ini, status kenegaraan atau otoritas pemerintah baru telah ada sebelum adanya pengakuan dan status ini tidak bergantung pada pengakuan. Tindakan-tindakan pengkauan semata-mata hanya pengumuman resmi terhadap situasi fakta yang telah ada

Apakah Hukum Internasional benar-benar Hukum?

Satu teori yang telah memperoleh pengakuan luas adalah bahwa hukum internasional bukan hukum yang sebenarnya, melainkan suatu himpunan kaidah perilaku yang hanya mempunyai kekuatan moral semata.

Pendukung teori Ini adalah John Austin (1790-1859), seorang penulis Yurisprudensi atau Ilmu Penegtahuan  dan Filsafat Hukum berkebangsaan Inggris. Menurutnya Hukum harus berasal dari badan legislatif yang benar benar berdaulat untuk membuatnya. Secara logis, apabila kaidah-kaidah yang bersangkutan bukan berasal dari suatu ototritas yang berdaulat, maka kaidah-kaidah tersebut tidak dapat digolongkan sebagai kaidah Hukum.

Karena hingga saat ini kaidah-kaidah Hukum Internasional secara eksklusif bersifat kebiasaan, maka Austin menyimpulkan bahwa Hukum Internasional bukan hukum yang sebenarnya, melainkan hanya “moralitas internasional positif” (posistive international morality).

Jawaban terhadap pendapat Austin:

  1. Yurisprudensi jaman modern tidak memperhitungkan kekuatan teori umum tentang hukum dari Austin. Telah ditunjukkan bahkan pada beberapa kelompok masyarakat yang tidak mempunyai suatu otoritas legislatif formal, suatu sistem hukum telah berjalan dan ditaati, dan hukum tersebut tidak berbeda dalam hal kekuatan mengikatnya dari hukum suatu negara yang benar-benar mempunyai suatu otoritas legislatif.
  2. Pandangan Austin meski benar pada jamannya, namun tidak tepat bagi Hukum Internasional sekarang ini. Dalam abad sekarang banyak sekali “perundang-undangan internasional” terbentuk sebagai akibat dari traktat-traktat dan konvensi-konvensi yang membuat hukum, dan sejalan dengan perkembangn ini maka proporsi kaidah-kaidah kebiasaan hukum internasional semakin berkurang. Prosedur untuk merumuskan “perundang-undangan internasional” ini telah dipecahkan dengan cara penyelenggaraan konferensi-konferensi internasional atau melalui organ-organ internasional yang ada, meskipun tidak seefisien seperti prosedur legislatif pada suatu negara.
  3. c.        Persoalan-persoalan hukum internasioanl senantiasa diperlakukan sebagai persoalan-persoalan hukum oleh kalangan yang mengangani urusan internasional dalam berbagai kementrian Luar Negeri, atau melalui badan administratif internasional. Dengan perkataan lain, badan-badan otoritatif yang betnaggung jawab untuk memelihara hubungan-hubungan internasional  tidak menganggap hukum internasional hanya sebagai suatu himpunan peraturan moral semata-mata.

Dalam prakteknya negara-negara tertentu memang secara tegas memeperlakukan hukum internasional sebagai hukum biasa yang mengikat warg-warga mereka. Konstitusi AS misalnya,  traktat-traktat adalah “hukum negara tertinggi” (the supreme law of the land) pasal IV, ayat 2.

Sanksi Hukum Internasional?

Hukum Internasional memiliki sanksi yang bersifat koordinasi. Misalnya berupa sanksi administratif.

Contohnya adalah pelarang terbang bagi maskapai Indonesi ke Eropa oleh UNI EROPA pada saat maraknya terjadi kecelakaan pesawat di Indonesia  karena tidak mematuhi aturan standar keselamatan yang ditetapkan.

 

Traktat Sebagai sumber Hukum

Traktat-traktat ‘yang membuat hukum’ (law-making), Menciptakan kaidah-kaidah ayng berlaku secara universal dan umum.

Subjek Hukum Internasional adalah semua pihak atau entitas yang dapat dibebani oleh hak dan kewajiban yang diatur oleh Hukum Internasional. Hak dan kewajiban tersebut berasal dari semua ketentuan baik yang bersifat formal ataupun non-formal dari perjanjian internasional ataupun dari kebiasaan internasional (Istanto, Ibid: 16; Mauna, 2001:12).

Subyek Hukum Internasional dapat diartikan sebagai negara atau kesatuan-kesatuan bukan negara yang dalam keadaan tertentu memiliki kemampuan untuk  menjadi pendukung hak dan kewajiban berdasarkan Hukum Internasional.  Kemampuan untuk menjadi pendukung hak dan kewajiban ( Legal capacity) ini antara lain meliputi :

  1. Kemampuan untuk mengajukan klaim-klaim (How to make claims).
  2. Kemampuan untuk mengadakan dan membuat perjanjian-perjanjian (How to make agreements)
  3. Kemampuan untuk  mempertahankan hak miliknya serta memiliki kekebalan-kekebalam (To enjoy of privileges and immunities)

Penyelesaian Konflik Secara Damai


PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL SECARA DAMAI

Cara penyelesaian sengketa internasional secara damai

Untuk mencegah penggunaan kekerasan oleh negara dalam suatu persengketaan dengan negara lain perlu ditempuh suatu penyelesaian secara damai. Usaha ini mutlak diperlukan sebelum perkara itu mengarah pada suatu pelanggaran terhadap perdamaian. Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa memberikan kewajiban kepada negara anggotanya bahkan kepada negara-negara lainnya yang bukan anggota PBB untuk menyelesaikan setiap persengketaan internasional secara damai sedemikian rupa sehingga tidak membahayakan perdamaian keamanan internasional serta keadilan.

Penyelesaian sengketa secara damai dapat dilakukan melalui :

a. Penyelesaian sengketa internasional secara politik

1). Negosiasi

Negosiasi merupakan teknik penyelesaian sengketa yang paling tradisional dan paling sederhana. Teknik negosiasi tidak melibatkan pihak ketiga, hanya berpusat pada diskusi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang terkait. Perbedaan persepsi yang dimiliki oleh kedua belah pihak akan diperoleh jalan keluar dan menyebabkan pemahaman atas inti persoalan menjadi lebih mudah untuk dipecahkan. Karena itu, dalam salah satu pihak bersikap menolak kemungkinan negosiasi sebagai salah satu cara penyelesaian akan mengalami jalan buntu.

2). Mediasi dan jasa-jasa baik (Mediation and good offices)

Mediasi merupakan bentuk lain dari negosiasi, sedangkan yang membedakannya adalah keterlibatan pihak ketiga. Pihak ketiga hanya bertindak sebagai pelaku mediasi (mediator), komunikasi bagi pihak ketiga disebut good offices. Seorang mediator merupakan pihak ketiga yang memiliki peran aktif untuk mencari solusi yang tepat guna melancarkan terjadinya kesepakatan antara pihak-pihak yang bertikai. Mediasi hanya dapat terlaksana dalam hal para pihak bersepakat dan mediator menerima syarat-syarat yang diberikan oleh pihak yang bersengketa.

Perbedaan antara jasa-jasa baik dan mediasi adalah persoalan tingkat. Kasus jasa-jasa baik, pihak ketiga menawarkan jasa untuk mempertemukan pihak-pihak yang bersengketa dan mengusulkan (dalam bentuk syarat umum) dilakukannya penyelesaian, tanpa secara nyata ikut serta dalam negosiasi-negosiasi atau melakukan suatu penyelidikan secara seksama atas beberapa aspek dari sengketa tersebut. Mediasi, sebaliknya pihak yang melakukan mediasi memiliki suatu peran yang lebih aktif dan ikut serta dalam negosiasi-negosiasi serta mengarahkan pihak-pihak yang bersengketa sedemikian rupa sehingga jalan penyelesaiannya dapat tercapai, meskipun usulan-usulan yang diajukannya tidak berlaku terhadap para pihak.

3). Konsiliasi (Conciliation)

Menurut the Institute of International Law melalui the Regulations the Procedur of International Conciliation yang diadopsinya pada tahun 1961 dalam Pasal 1 disebutkan sebagai suatu metode penyelesaian pertikaian bersifat internasional dalam suatu komisi yang dibentuk oleh pihak-pihak, baik sifatnya permanen atau sementara berkaitan dengan proses penyelesaian pertikaian. Istilah konsiliasi (conciliation) mempunyai arti yang luas dan sempit. Pengertian luas konsiliasi mencakup berbagai ragam metode di mana suatu sengketa diselesaikan secara damai dengan bantuan negara-negara lain atau badan-badan penyelidik dan komite-komite penasehat yang tidak berpihak. Pengertian sempit, konsiliasi berarti penyerahan suatu sengketa kepada sebuah komite untuk membuat laporan beserta usul-usul kepada para pihak bagi penyelesaian sengketa tersebut.

Menurut Shaw, laporan dari konsiliasi hanya sebagai proposal atau permintaan dan bukan merupakan konstitusi yang sifatnya mengikat. Proses konsiliasi pada umumnya diberikan kepada sebuah komisi yang terdiri dari beberapa orang anggota, tapi terdapat juga yang hanya dilakukan oleh seorang konsiliator.

4). Penyelidikan (Inquiry)

Metode penyelidikan digunakan untuk mencapai penyelesaian sebuah sengketa dengan cara mendirikan sebuah komisi atau badan untuk mencari dan mendengarkan semua bukti-bukti yang bersifat internasional, yang relevan dengan permasalahan. Dengan dasar bukti-bukti dan permasalahan yang timbul, badan ini akan dapat mengeluarkan sebuah fakta yang disertai dengan penyelesaiannya.

Tujuan dari penyelidikan, tanpa membuat rekomendasi-rekomendasi yang spesifik untuk menetapkan fakta yang mungkin diselesaikan dengan cara memperlancar suatu penyelesaian yang dirundingkan. Pada tanggal 18 Desember 1967, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengeluarkan resolusi yang menyatakan pentingnya metode pencarian fakta (fact finding) yang tidak memihak sebagai cara penyelesaian damai dan meminta negara-negara anggota untuk lebih mengefektifkan metode-metode pencarian fakta. Serta meminta Sekertaris Jenderal untuk mempersiapkan suatu daftar para ahli yang jasanya dapat dimanfaatkan melalui perjanjian untuk pencarian fakta dalam hubungannya dengan suatu sengketa.

5). Penyelesaian di bawah naungan organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa

Amanat yang disebutkan dalam Pasal 1 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, salah satu tujuannya adalah untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional. Tujuan tersebut sangat terkait erat dengan upaya penyelesaian sengketa secara damai. Isi Piagam PBB tersebut di antaranya memberikan peran penting kepada International Court of Justice (ICJ) dan upaya penegakannya diserahkan pada Dewan Keamanan. Berdasarkan Bab VII Piagam PBB, DK dapat mengambil tindakan-tindakan yang terkait dengan penjagaan atas perdamaian. Sedangkan Bab VI, Dewan Keamanan juga diberikan kewenangan untuk melakukan upaya-upaya yang terkait dengan penyelesaian sengketa.

 

Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional

Negara-negara bila tidak mencapai kesepakatan untuk menyelesaikan sengketa mereka secara persahabatan, maka cara pemecahan yang mungkin digunakan adalah cara-cara kekerasan. Prinsip-prinsip dari cara penyelesaian melalui kekerasan antara lain :

a). Perang

Tujuan perang adalah menaklukan negara lawan dan membebankan syarat-syarat penyelesaian di mana negara yang ditaklukan itu tidak memiliki alternatif lain selain mematuhinya. Tindakan bersenjata yang tidak dapat disebut perang juga banyak diupayakan, secara sederhana perang merupakan tindakan kekerasan yang dilakukan untuk menaklukan negara lawan untuk membebankan syarat-syarat penyelesaian secara paksa. Konsepsi ini sejalan dengan pendapat Karl von Clausewitz yang mengatakan bahwa perang adalah perjuangan dalam skala besar yang dimaksudkan oleh salah satu pihak untuk menundukan lawannya guna memenuhi kehendaknya.

b). Retorsi (Retortion)

Retorsi adalah pembalasan dendam oleh suatu negara terhadap tindakan-tindakan tidak pantas atau tidak patut dari negara lain. Balas dendam tersebut dilakukan dalam bentuk tindakan-tindakan sah yang tidak bersahabat di dalam konferensi negara yang kehormatannya dihina. Misalnya merenggangnya hubungan diplomatik, pencabutan privilige diplomatik, atau penarikan diri dari konsesi-konsesi fiskal dan bea.

c). Tindakan-tindakan pembalasan (Repraisals)

Pembalasan merupakan metode-metode yang dipakai oleh negara-negara untuk mengupayakan diperolehnya ganti rugi dari negara-negara lain dengan melakukan tindakan-tindakan yang sifatnya pembalasan. Perbedaan antara tindakan pembalasan dan retorsi adalah pembalasan mencakup tindakan yang pada umumnya boleh dikatakan sebagai perbuatan illegal sedangkan retorsi meliputi tindakan sifatnya balas dendam yang dapat dibenarkan oleh hukum. Pembalasan dapat berupa berbagai macam bentuk, misalnya suatu pemboikotan barang-barang terhadap suatu negara tertentu.

d). Blokade secara damai (Pacific Blockade)

Pada waktu perang, blokade terhadap pelabuhan suatu negara yang terlibat perang sangat lazim dilakukan oleh angkatan laut. Blokade secara damai adalah suatu tindakan yang dilakukan pada waktu damai. Kadang-kadang digolongkan sebagai pembalasan, tindakan itu pada umumnya ditujukan untuk memaksa negara yang pelabuhannya diblokade mentaati permintaan ganti rugi atas kerugian yang diderita oleh negara yang memblokade.

e). Intervensi (Intervention)

Hukum internasional pada umumnya melarang campur tangan yang berkaitan dengan urusan-urusan negara lain, yang dalam kaitan khusus ini berarti suatu tindakan yang lebih dari sekedar campur tangan saja dan lebih kuat dari pada mediasi atau usulan diplomatik.

Menurut Mahkamah, intervensi dilarang oleh hukum internasional apabila: (a) campur tangan yang berkaitan dengan masalah-masalah di mana setiap negara dibolehkan untuk mengambil keputusan secara bebas, dan (b) campur tangan itu meliputi gangguan terhadap kemerdekaan negara lain dengan cara-cara paksa, khususnya kekerasan.

PROSEDUR PENYELESAIAN SENGKETA INTERASIONAL

Ditinjau dari konteks hukum internasional publik, sengketa dapat didefinisikan sebagai ketidaksepakatan salah satu subyek mengenai sebuah fakta, hukum, atau kebijakan yang kemudian dibantah oleh pihak lain atau adanya ketidaksepakatan mengenai masalah hukum atau fakta-fakta atau konflik mengenai penafsiran atau kepentingan antara 2 bangsa yang berbeda

Karakteristik dari Sengketa Internasional adalah:

1. Sengketa internasional yang melibatkan subjek hukum internasional (a Direct International Disputes), Contoh: Toonen vs. Australia. Toonen menggugat Australia ke Komisi Tinggi HAM PBB karena telah mengeluarkan peraturan yang sangat diskriminasi terhadap kaum Gay dan Lesbian. Dan menurut Toonen pemerintah Australia telah melanggar Pasal 2 ayat (1), Pasal 17 dan Pasal 26 ICCPR. Dalam kasus ini Komisi Tinggi HAM menetapkan bahwa pemerintah Australia telah melanggar Pasal 17 ICCPR dan untuk itu pemerintah Australia dalam waktu 90 hari diminta mengambil tindakan untuk segera mencabut peraturan tersebut.

2. Sengketa yang pada awalnya bukan sengketa internasional, tapi karena sifat dari kasus itu menjadikan sengketa itu sengketa internasional (an Indirect International Disputes). Suatu perisitiwa atau keadaan yang bisa menyebabkan suatu sengketa bisa menjadi sengketa internasional adalahaadanya kerugian yang diderita secara langsung oleh WNA yang dilakukan pemerintah setempat. Contoh: kasus penembakan WN Amerika Serikat di Freeport.

Kedamaian dan keamanan internasional hanya dapat diwujudkan apabila tidak ada kekerasan yang digunakan dalam menyelesaikan sengketa, yang ditegaskan dalam pasal 2 ayat (4) Piagam. Penyelesaian sengketa secara damai ini, kemudian dijelaskan lebih lanjut dalam pasal 33 Piagam yang mencantumkan beberapa cara damai dalam menyelesaikan sengketa, diantaranya :

1. Negosiasi (perundingan)

Perundingan merupakan pertukaran pandangan dan usul-usul antara dua pihak untuk menyelesaikan suatu persengketaan, jadi tidak melibatkan pihak ketiga.

Pasal 33 ayat (1) Piagam PBB menempatkan negosiasi sebagai cara pertama dalam menyelesaikan sengketa.

Perundingan merupakan pertukaran pandangan dan usul-usul antara dua pihak untuk menyelesaikan suatu persengketaan, jadi tidak melibatkan pihak ketiga.

ü  Segi positif/kelebihan dari negosiasi adalah:

1. Para pihak sendiri yang menyelesaikan kasus dengan pihak lainnya;

2. Para pihak memiliki kebebasan untuk menentukan bagaimana cara penyelesaian melalui negosiasi dilakukan menurut kesepakatan bersama;

3. Para pihak mengawasi atau memantau secara langsung prosedur penyelesaian;

4. Negosiasi menghindari perhatian publik dan tekanan politik dalam negeri.

ü  Segi negatif/kelemahan dari negosiasi adalah:

1. Negosiasi tidak pernah akan tercapai apabila salah satu pihak berpendirian keras;

2. Negosiasi menutup kemungkinan keikutsertaan pihak ketiga, artinya kalau salah satu pihak berkedudukan lemah tidak ada pihak yang membantu.

2. Enquiry (penyelidikan)

Penyelidikan dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak memihak dimaksud untuk mencari fakta.

3. Good offices (jasa-jasa baik)

Pihak ketiga dapat menawarkan jasa-jasa baik jika pihak yang bersengketa tidak dapat menyelesaikan secara langsung persengketaan yang terjadi diantara mereka.

4. Mediation (mediasi)

Pihak ketiga campur tangn untuk mengadakan rekonsiliasi tuntutan-tuntutan dari para pihak yang bersengketa. Dalam mediasi pihak ketiga lebih aktif.

5. Consiliation (Konsiliasi)

Merupakan kombinasi antara penyelesaian sengketa dengan cara enquiry dan mediasi.

6. Arbitration (arbitrasi)

Pihaknya adalah negara, individu, dan badan-badan hukum. Arbitrasi lebih flexible dibanding dengan penyelesain sengketa melalui pengadilan.

7. Penyelesain sengketa menurut hukum

Dalam penyelesaian ini para pihak yang bersengketa akan mengajukan masalahnya ke Mahkamah Internasional. Mahkamah internasional ini bertugas untuk menyelesaikan tuntutanyang diajukan dan mengeluarkan keputusan yang bersifat final dan mengikat para pihak. Mahkamah Internasional merupakan bagian integral dari PBB, jadi tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya.

8. Badan-badan regional

Melibatkan lembaga atau organisasi regional baik sebelum maupun sesudah PBB berdiri.

9. Cara-cara damai lainnya

Dari 9 penyelesaian sengketa yang tercantum dalam Piagam, dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu penyelesaian sengketa secara hukum dan secara politik/diplomatik. Yang termasuk ke dalam penyelesaian sengketa secara hukum adalah arbitrase dan judicial settlement. Sedangkan yang termasuk ke dalam penyelesaian sengketa secara diplomatik adalah negosiasi; enquiry; mediasi; dan konsiliasi. Hukum internasional publik juga mengenal good offices atau jasa-jasa baik yang termasuk ke dalam penyelesaian sengketa secara diplomatik.

Pada dasarnya, tidak ada tata urutan yang mutlak mengenai penyelesaian sengketa secara damai. Para pihak dalam sengketa internasional dapat saja menyelesaikan sengketa yang terjadi di antara mereka ke badan peradilan internasional seperti International Court of Justice (ICJ/Mahkamah Internasional), tanpa harus melalui mekanisme negosiasi, mediasi, ataupun cara diplomatik lainnya. PBB tidak memaksakan prosedur apapun kepada negara anggotanya. Dengan kebebasan dalam memilih prosedur penyelesaian sengketa, negara-negara biasanya memilih untuk memberikan prioritas pada prosedur penyelesaian secara politik/diplomatik, daripada mekanisme arbitrase atau badan peradilan tertentu, karena penyelesaian secara politik/diplomatik akan lebih melindungi kedaulatan mereka.

PENYELESAIAN SENGKETA SECARA DIPLOMATIK YANG DAMAI

Prinsip-Prinsip Penyelesaian Sengketa Secara Damai adalah:

1. Prinsip itikad baik (good faith);

2. Prinsip larangan penggunaan kekerasan dalam penyelesaian sengketa;

3. Prinsip kebebasan memilih cara-cara penyelesaian sengketa;

4. Prinsip kebebasan memilih hukum yang akan diterapkan terhadap pokok sengketa;

5. Prinsip kesepakatan para pihak yang bersengketa (konsensus);

6. Prinsip penggunaan terlebih dahulu hukum nasional negara untuk menyelesaikan suatu sengketa prinsip exhaustion of local remedies);

7. Prinsip-prinsip hukum internasional tentang kedaulatan, kemerdekaan, dan integritas wilayah negara-negara.

Disamping ketujuh prinsip di atas, Office of the Legal Affairs PBB memuat prinsip-prinsip lain yang bersifat tambahan, yaitu:

1. Prinsip larangan intervensi baik terhadap masalah dalam atau luar negeri para pihak;

2. Prinsip persamaan hak dan penentuan nasib sendiri;

3. Prinsip persamaan kedaulatan negara-negara;

4. Prinsip kemerdekaan dan hukum internasional.

 

Penyelesaian Sengketa secara Diplomatik

Seperti yang telah dijelaskan di atas, yang termasuk ke dalam penyelesaian sengketa secara diplomatik adalah negosiasi; enquiry atau penyelidikan; mediasi; konsiliasi; dan good offices atau jasa-jasa baik. Kelima metode tersebut memiliki ciri khas, kelebihan, dan kekurangan masing-masing.’

 

Penyelesaian sengketa internasional secara paksa

Negara-negara bila tidak mencapai kesepakatan untuk menyelesaikan sengketa mereka secara persahabatan, maka cara pemecahan yang mungkin digunakan adalah cara-cara kekerasan. Prinsip-prinsip dari cara penyelesaian melalui kekerasan antara lain :

a). Perang

Tujuan perang adalah menaklukan negara lawan dan membebankan syarat-syarat penyelesaian di mana negara yang ditaklukan itu tidak memiliki alternatif lain selain mematuhinya. Tindakan bersenjata yang tidak dapat disebut perang juga banyak diupayakan, secara sederhana perang merupakan tindakan kekerasan yang dilakukan untuk menaklukan negara lawan untuk membebankan syarat-syarat penyelesaian secara paksa. Konsepsi ini sejalan dengan pendapat Karl von Clausewitz yang mengatakan bahwa perang adalah perjuangan dalam skala besar yang dimaksudkan oleh salah satu pihak untuk menundukan lawannya guna memenuhi kehendaknya.

b). Retorsi (Retortion)

Retorsi adalah pembalasan dendam oleh suatu negara terhadap tindakan-tindakan tidak pantas atau tidak patut dari negara lain. Balas dendam tersebut dilakukan dalam bentuk tindakan-tindakan sah yang tidak bersahabat di dalam konferensi negara yang kehormatannya dihina. Misalnya merenggangnya hubungan diplomatik, pencabutan privilige diplomatik, atau penarikan diri dari konsesi-konsesi fiskal dan bea.

c). Tindakan-tindakan pembalasan (Repraisals)

Pembalasan merupakan metode-metode yang dipakai oleh negara-negara untuk mengupayakan diperolehnya ganti rugi dari negara-negara lain dengan melakukan tindakan-tindakan yang sifatnya pembalasan. Perbedaan antara tindakan pembalasan dan retorsi adalah pembalasan mencakup tindakan yang pada umumnya boleh dikatakan sebagai perbuatan illegal sedangkan retorsi meliputi tindakan sifatnya balas dendam yang dapat dibenarkan oleh hukum. Pembalasan dapat berupa berbagai macam bentuk, misalnya suatu pemboikotan barang-barang terhadap suatu negara tertentu.

d). Blokade secara damai (Pacific Blockade)

Pada waktu perang, blokade terhadap pelabuhan suatu negara yang terlibat perang sangat lazim dilakukan oleh angkatan laut. Blokade secara damai adalah suatu tindakan yang dilakukan pada waktu damai. Kadang-kadang digolongkan sebagai pembalasan, tindakan itu pada umumnya ditujukan untuk memaksa negara yang pelabuhannya diblokade mentaati permintaan ganti rugi atas kerugian yang diderita oleh negara yang memblokade.

e). Intervensi (Intervention)

Hukum internasional pada umumnya melarang campur tangan yang berkaitan dengan urusan-urusan negara lain, yang dalam kaitan khusus ini berarti suatu tindakan yang lebih dari sekedar campur tangan saja dan lebih kuat dari pada mediasi atau usulan diplomatik.

Menurut Mahkamah, intervensi dilarang oleh hukum internasional apabila: (a) campur tangan yang berkaitan dengan masalah-masalah di mana setiap negara dibolehkan untuk mengambil keputusan secara bebas, dan (b) campur tangan itu meliputi gangguan terhadap kemerdekaan negara lain dengan cara-cara paksa, khususnya kekerasan.

Cara-cara Pemecahan konflik

Usaha manusia untuk meredakan pertikaian atau konflik dalam mencapai kestabilan dinamakan “akomodasi”. Pihak-pihak yang berkonflik kemudian saling menyesuaikan diri pada keadaan tersebut dengan cara bekerja sama. Bentuk-bentuk akomodasi :

1. Gencatan senjata, yaitu penangguhan permusuhan untuk jangka waktu tertentu, guna melakukan suatu pekerjaan tertentu yang tidak boleh diganggu. Misalnya : untuk melakukan perawatan bagi yang luka-luka, mengubur yang tewas, atau mengadakan perundingan perdamaian, merayakan hari suci keagamaan, dan lain-lain.

2. Abitrasi, yaitu suatu perselisihan yang langsung dihentikan oleh pihak ketiga yang memberikan keputusan dan diterima serta ditaati oleh kedua belah pihak. Kejadian seperti ini terlihat setiap hari dan berulangkali di mana saja dalam masyarakat, bersifat spontan dan informal. Jika pihak ketiga tidak bisa dipilih maka pemerintah biasanya menunjuk pengadilan.

3. Mediasi, yaitu penghentian pertikaian oleh pihak ketiga tetapi tidak diberikan keputusan yang mengikat. Contoh : PBB membantu menyelesaikan perselisihan antara Indonesia dengan Belanda.

4. Konsiliasi, yaitu usaha untuk mempertemukan keinginan pihak-pihak yang berselisih sehingga tercapai persetujuan bersama. Misalnya : Panitia tetap penyelesaikan perburuhan yang dibentuk Departemen Tenaga Kerja. Bertugas menyelesaikan persoalan upah, jam kerja, kesejahteraan buruh, hari-hari libur, dan lain-lain.

5. Stalemate, yaitu keadaan ketika kedua belah pihak yang bertentangan memiliki kekuatan yang seimbang, lalu berhenti pada suatu titik tidak saling menyerang. Keadaan ini terjadi karena kedua belah pihak tidak mungkin lagi untuk maju atau mundur. Sebagai contoh : adu senjata antara Amerika Serikat dan Uni Soviet pada masa Perang dingin.

6. Adjudication (ajudikasi), yaitu penyelesaian perkara atau sengketa di pengadilan.

Adapun cara-cara yang lain untuk memecahkan konflik adalah :

1. Elimination, yaitu pengunduran diri salah satu pihak yang terlibat di dalam konflik, yang diungkapkan dengan ucapan antara lain : kami mengalah, kami keluar, dan sebagainya.

2. Subjugation atau domination, yaitu orang atau pihak yang mempunyai kekuatan terbesar untuk dapat memaksa orang atau pihak lain menaatinya. Sudah barang tentu cara ini bukan suatu cara pemecahan yang memuaskan bagi pihak-pihak yang terlibat.

3. Majority rule, yaitu suara terbanyak yang ditentukan melalui voting untuk mengambil keputusan tanpa mempertimbangkan argumentasi.

4. Minority consent, yaitu kemenangan kelompok mayoritas yang diterima dengan senang hati oleh kelompok minoritas. Kelompok minoritas sama sekali tidak merasa dikalahkan dan sepakat untuk melakukan kerja sama dengan kelompok mayoritas.

5. Kompromi, yaitu jalan tengah yang dicapai oleh pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik.

6. Integrasi, yaitu mendiskusikan, menelaah, dan mempertimbangkan kembali pendapat-pendapat sampai diperoleh suatu keputusan yang memaksa semua pihak.

HUBUNGAN INTERNASIONAL DAN ORGANISASI INTERNASIONAL


 

Hubungan international merupakan satu gambaran persatuan yang kuat yang mengikat seluruh negara didalam satu wadah. Relasi ini mempunyai ikatan kuat bagi setiap individual pemimpin dari berbagai manca Negara, beberapa bentuk ikatan ini sebagai berikut:

a. Politik International: Hubungan ini terarah dalam perpolitikan dimana politik satu negara tidak mungkin sama dengan yang lain. Dari sisi inilah lahir hubungan diplomatik yang bertujuan untuk kemajuan dan menjalin hubungan yang akur. Tapi sayangnya para pejabat diploma yang ditugaskan dalam hal ini kebanyakan melenceng dari tugas mereka, bahkan pemilihan para diploma untuk luar negeri terpilih dengan cara sistem kekeluargaan atau jasa.

b. Hukum International: Badan hukum ini telah menjadi wadah persatuan yang kuat, bahkan telah bercabang dibebagai penjuru dunia. Tetapi badan hukum ini masih kaku dalam kinerjanya, Jika saja badan hukum dunia ini mempunyai super power dalam hal keadilan mengapa penindasan, pelanggaran ham dan kekerasan lainnya masih gencar berjalan. Hal ini diakibatkan karna adanya satu kekuatan yang nimbrung didalamnya, alhasil hukum international yang bermottokan netral tidak berdaya sama sekali.

c. Organisasi International: Seluruh dunia mengenal PBB ( United Nations organization ) badan ini merupakan kelompok penengah untuk seluruh Negara, tapi badan ini juga tampak lemah dalam hal keadilan dan penegakan hukum. Lihat saja berapa negara yang sekarang masih bertikai, apakah mereka memberi solusi yang tegas? tidak!, bahkan badan tersebut lebih sibuk dengan urusan-urusan yang lainnya.

HUKUM INTERNASIONAL

Setelah sedikit banyak kita mengkaji hukum mulai dari pengertian hukum itu sendiri lalu segala aspek yang mendukung terjadinya kaedah hukum serta pembidangan hukum itu tersebut dan lain sebagainya, kini kita akan mencoba mengupas satu dari pengklasifikasian hukum-hukum tersebut yaitu Hukum International atau hukum antar negara dan antar organisasi internasional, atau bisa kita sebut hukum transnasional, termasuk didalamnya hukum diplomatik dan konsuler, kali ini kita akan mencoba sedikit menelaah hubungan internasional antar negara yang mana telah diatur oleh hukum internasional, politik yang genjar selalu menjadi background tiap praktisi negara untuk mencapai interest tiap-tiap negara, hubungan hukum internasional dengan politik internasional menjadi kata kunci untuk menjelaskan permasalahan pokok yang berkaitan dengan masalah efektifitas hukum internasional dalam menjamin kepatuhan negara terhadap aturan main yang ada pada level antarnegara. Hukum internasional itu sendiri hadir dari beberapa konvensi dan juga resolusi-resolusi PBB, dengan satu tujuan suci tiada lain ialah membina masyarakat internasional yang bersih dari segala hal yang berbau merugikan sesuatu negara, dengan demikian dapat mempererat terjalinnya hubungan internasional atau hubungan antar negara secara sehat, dinamis dan harmornis.

Definisi Hukum Internasional

Berangkat dari pentingnya hubungan lintas negara disegala sektor kehidupan seperti politik, sosial, ekonomi dan lain sebagainya, maka sangat diperlukan hukum yang diharap bisa menuntaskan segala masalah yang timbul dari hubungan antar negara tersebut. Hukum Internasional ialah sekumpulan kaedah hukum wajib yang mengatur hubungan antara person hukum internasional (Negara dan Organisasi Internasional), menentukan hak dan kewajiban badan tersebut serta membatasi hubungan yang terjadi antara person hukum tersebut dengan masyarakat sipil.

Oleh karena itu hukum internasional adalah hukum masyarakat internasional yang mengatur segala hubungan yang terjalin dari person hukum internasional serta hubungannya dengan masyarakat sipil.

Hukum internasional mempunyai beberapa segi penting seperti prinsip kesepakatan bersama (principle of mutual consent), prinsip timbal balik (priniple of reciprocity), prinsip komunikasi bebas (principle of free communication), princip tidak diganggu gugat (principle of inciolability), prinsip layak dan umum (principle of reasonable and normal), prinsip eksteritorial (principle of exterritoriality), dan prinsip-prinsip lain yang penting bagi hubungan diplomatik antarnegara.

Maka hukum internasional memberikan implikasi hukum bagi para pelangarnya, yang dimaksud implikasi disini ialah tanggung jawab secara internasional yang disebabkan oleh tindakan-tindakan yang dilakukan sesuatu negara atau organisasi internasional dalam melakukan segala tugas-tugasnya sebagai person hukum internasional.

Dari pengertian diatas dapat kita simpulkan unsur-unsur terpenting dari hukum internasional:
Objek dari hukum internasional ialah badan hukum internasional yaitu negara dan organisasi internasional.
Hubungan yang terjalin antara badan hukum internasional adalah hubungan internasional dalam artian bukan dalam scope wilayah tertentu, ia merupakan hubungan luar negeri yang melewati batas teritorial atau geografis negara, berlainan dengan hukum negara yang hanya mengatur hubungan dalam negeri .
Kaedah hukum internasional ialah kaedah wajib, seperti layaknya semua kaedah hukum, dan ini yang membedakan antara hukum internasional dengan kaedah internasional yang berlaku dinegara tanpa memiliki sifat wajib seperti life service dan adat kebiasaan internasional.

Jika hukum nasional ialah hukum yang terapkan dalam teritorial sesuatu negara dalam mengatur segala urusan dalam negeri dan juga dalam menghadapi penduduk yang berdomisili didalamnya, maka hukum internasional ialah hukum yang mengatur aspek negara dalam hubungannya dengan negara lain.

Sumber-sumber Hukum Internasional

Hukum traktat, yakni hukum yang terbentuk dalam perjanjian-perjanjian internasional (tractaten-recht) Kesepakatan dan perjanjian international. Seperti Konvensi Vina, Konvensi New York serta perjanjian serta kesepakatan yang lainnya.
Hukum kebiasaan (costumary), yaitu keajegan-keajegan dan keputusan-keputusan (penguasa dan warga masyarakat) yang didasarkan pada keyakinan akan kedamaian pergaulan hidup.
Sumber-sumber hukum internasioanl yang lainnya seperti: dasar umum negara, hukum peradilan internasional, fiqh internasional, kaedah keadilan, serta keputusan-keputusan organisasi internasional.

Tanggung Jawab Internasional

Hukum Internasional ada untuk mengatur segala hubungan internasional demi berlangsungnya kehidupan internasional yang terlepas dari segala bentuk tindakan yang merugikan negara lain. Oleh sebab itu negara yang melakukan tindakan yang dapat merugikan negara lain atau dalam artian melanggar kesepakatan bersama akan dikenai implikasi hukum, jadi sebuah negara harus bertanggung jawab atas segala tindakan yang telah dilakukannya.

Pengertian tanggung jawab internasional itu sendiri itu adalah peraturan hukum dimana hukum internasional mewajibkan kepada person hukum internasional pelaku tindakan yang melanggar kewajiban-kewajiban internasional yang menyebabkan kerugian pada person hukum internasional lainnya untuk melakukan kompensasi.

Suatu negara dapat dimintai pertanggung jawabannya secara internasional bila telah memenuhi syarat sebagai berikut:
Negara tersebut telah benar-benar melakukan tindakan yang merugikan, tindak positif ataupun negatif.
Tindakan yang merugikan ini timbul dari person hukum internasional yang meliputi negara dan organisasi internasional.
Yang terakhir yaitu tindakan yang merugikan itu sendiri, bila tidak ada kerugian yang timbul dari person hukum internasional pertanggungjawaban internasional tidak dapat di terapkan

Tindakan yang merugikan ini dapat timbul dari perangkat badan internasional itu sendiri, yaitu badan legislatif, eksekutif dan pula yudikatif.

Pengertian Negara menurut Hukum Internasional

Pengertian person hukum internasional itu sendiri ialah kesatuan internasional yang diterapkan hukum internasional kepadanya, atau yang mempunyai kelayakan dalam hak dan dibebani oleh beberapa kewajiban yang ditetapkan hukum internasional.

Disini kita perlu membahas sedikit tentang negara yang merupakan subjek sekaligus objek dari hukum internasional, negara dalam pengertian hukum internasional ialah sekumpulan orang-orang yang berdomisili di suatu teritorial tertentu secara mapan(stabil) serta patuh kepada kekuatan hukum yang bijaksana dan mempunyai kedaulatan serta memiliki kewenangan penuh.

Negara mempunyai tiga unsur penting yaitu; Rakyat, Teritorial (daerah), dan Kekuasan (kewenangan). Rakyat terbentuk dari penduduk yang menetap di teritorial negara secara mapan(stabil) dan terikat pada negara secara politik serta hukum, atau dapat kita sebut kewarganegaraan. Sedangkan teritorial adalah letak geografis dimana suatu negara dapat melaksanakan segala kekuasannya yang ditetapkan oleh hukum internasional sebagai person hukum internasional, iklim meliputi area daratan, air dan lapisan langit. Kemudian Kekuasaan itu sendiri ialah kemerdekaan secara utuh dalam urusan internal dan eksternal Negara, kebebasan internal dalam artian suatu negara dapat melaksanakan seluruh urusan dalam negerinya yang ditanggani oleh dewan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, sedangkan kebebasan eksternal atau luar dimaksudkan ialah kelayakan suatu negara guna melaksanakan seluruh juridiksi atau kompetensi internasional.

Suatu negara mempunyai hak yang sama dimata hukum internasional seperti; kemerdekaan, kedaulatan, persamaan didepan hukum, dan pertahan diri, selain itu negara juga mempunyai kewajiban seperti; pelarangan interpensi dalam urusan negara lain, menghargai negara lain dan lain sebagainya. Subjek hukum internasional juga berasal dari Organisasi Internasional, organisasi internasional dapat kita definisikan sebagai berikut; organisasi antarpemerintah yang diakui sebagai subjek hukum internasional dan mempunyai kapasitas untuk membuat perjanjian internasional.

Peristiwa Internasional

Dari segi yang berbeda hukum internasional merupakan hukum yang berhubungan dengan Peristiwa Internasional, adapun yang termasuk Peristiwa Internasional ialah:
Hukum Tantra (Tata Tantra maupun Karya/Administrasi Tantra) substantif/materiel dan ajektif/formil,
Hukum Pidana – substantif/materiel dan ajektif/formil,
Hukum Perdata – substantif/materiel dan ajektif/formil
Dan karena itu masing-masing disebut Hukum Tantra Internasional. Hukum Pidana Internasional dan Hukum Perdata Internasional.

Oleh sebab itu jelaslah bahwa hukum itu disebut Hukum Internasional atau Hukum Nasional bukan ditentukan oleh sumbernya, Nasional atau Internasional. Sumber Nasional dari pada Hukum Tantra Internasional adalah misalnya pasal 11 & 13 UUD’45 dan bila sumber itu berupa hasil karya Tantra Internasional (perjanjian) maka untuk berlakunya perlu pengukuhan secara Nasional, sekurangnya diumumkan dalam Lembaran/Berita Nasional. Contoh dari ketentuan Hukum Pidana International yang bersumber Nasional adalah pasal 2 s/d 8 KUHP, sedang yang bersumber Internasional ialah misalnya Perjanjian Ekstradisi. Hukum Perdata Internasional adalah sungguh Hukum Internasional karena berhubungan dengan peristiwa dalam sikap tindak, kejadian, dan keadaan Internasional, misalnya: bidang hukum harta kekayaan seperti warga Indonesia mempunyai rumah di Singapura, bidang hukum keluarga seperti Warga negara Malaysia menikah dengan warga negara Indonesia, bidang hukum waris seperti seorang Pewaris warga negara Cina mempunyai ahliwaris warganegara Indonesia. Dalam hal ini perlu juga ditegaskan bahwa bila peristiwa Hakim Nasional; mengadili perkara suatu (Tantra/Pidana/Perdata) Internasional, maka menyelenggarakan Peradilan Internasional (dedoublement functionel) dan keputusannya merupakan hukum konkrit internasional walaupun ia bukan hukum internasional dan lembaganya tetap Pengadilan Nasional.

Hukum Diplomatik dan Konsuler

Pengertian hukum diplomatik masih belum banyak diungkapkan, karena pada hakekatnya hukum diplomatik merupakan bagian dari Hukum Internasional yang mempunyai sebagian sumber hukum yang sama seperti konvensi-konvensi Internasional.

Diplomasi merupakan suatu cara komunikasi yang dilakukan antara berbagai pihak termasuk negoisasi antara wakil-wakil yang sudah diakui. Praktik-praktik negara semacam itu sudah melembaga sejak dahulu dan kemudian menjelma sebagai aturan-aturan hukum internasional. Namun pengertian secara tradisional kata ‘hukum diplomatik’ digunakan untuk merujuk pada norma-norma hukum internasional yang mengatur tentang kedudukan fungsi misi diplomatik yang dipertukarkan oleh negara-negara yang telah membina hubungan diplomatik, lain halnya dengan pengertian-pengertian sekarang yang bukan saja meliputi hubungan diplomatik dan konsuler antarnegara, tetapi juga keterwakilan negara dalam hubungannya dengan organisasi-organisasi internasional.

Dari pengertian sebagaimana tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan adanya beberapa faktor yang penting yaitu hubungan antara bangsa untuk merintis kerjasama dan persahabatan, hubungan tersebut dilakukan melalui pertukaran misi diplomatik termasuk para pejabatnya. Dengan demikian, pengertian hukum diplomatik pada hakikatnya merupakan ketentuan atau prinsip-prinsip hukum internasional yang mengatur hubungan diplomatik antar negara yang dilakukan atas dasar permufakatan bersama dan ketentuan atau prinsip-prinsip tersebut dituangkan didalam instrumen-instrumen hukum sebagai hasil dari kodifikasi hukum kebiasaan internasional dan pengembangan kemajuan hukum internasional.

Dalam perkembangannya, hukum diplomatik mempunyai ruang lingkup yang lebih luas lagi bukan saja mencakupi hubungan diplomatik antarnegara, tetapi juga hubungan konsuler dan keterwakilan negara dalam hubunganya dengan organisasi-organisasi internasional khususnya yang mempunyai tanggungjawab dan keanggotaannya yang bersifat global atau lazim disebut organisasi internasional yang bersifat universal. Bahkan dalam kerangka hukum diplomatik ini dapat juga mencakupi ketentuan-ketentuan tentang perlindungan keselamatan, pencegahan serta penghukuman terhadap tindak kejahatan yang ditujukan kepada para diplomat.

Para pejabat diplomatik yang dikirimkan oleh sesuatu negara ke negara lainnya telah dianggap memiliki suatu sifat suci khusus. Sebagai konsekuensinya, mereka telah diberikan kekebalan dan keistimewaan diplomatik, ini merupakan aturan kebiasaan hukum internasional yang telah ditetapkan, termasuk harta milik, gedung dan komunikasi. Untuk menunjukkan totalitas kekebalan dan keistimewaan diplomatik tersebut, terdapat 3 teory yang sering digunakan dalam hal ini, yaitu; exterritoriality theory, representative character theory dan functional necessity theory. Sifat dan prinsip tersebut itu diberikan kepada para diplomat oleh hukum nasional negara penerima. Pemberian hak-hak tersebut didasarkan resiprositas antarnegara dan ini mutlak diperlukan dalam rangka:
Mengembangkan hubungan persahabatan antarnegara, tanpa mempertimbangkan sistem ketatanegaraan dan sistem sosial mereka berbeda.
Bukan untuk kepentingan perseorangan tetapi untuk menjamin terlaksananya tugas para pejabat diplomatik secara efisien terutama dalam tugas dari negara yang mewakilinya.

Kekebalan dan keistimewaan diplomatik akan tetap berlangsung sampai diplomat mempunyai waktu sepantasnya menjelang keberangkatannya setelah menyelesaikan tugasnya di sesuatu negara penerima. Namun negara penerima setiap kali dapat meminta negara pengirim untuk menarik diplomatnya apabila ia dinyatakan persona non grata.

Esensial Hukum Internasional

Apa yang menjadi kepentingan hukum internasional adalah memberikan batasan yang jelas terhadap kewenangan negara dalam pelaksanaan hubungan antarnegara. Hal ini bertolak belakang dengan kepentingan penyelenggaraan politik internasional yang bertujuan untuk mempertahankan atau memperbesar kekuasaan. Karena itu, hukum bermakna memberikan petunjuk operasional perihal kebolehan dan larangan guna membatasi kekuasaan absolut negara.

Realitanya keterkaitan diantara kedua dimensi hubungan ini berujung kepada persoalan esensi hukum sebagai suatu kekuatan yang bersifat memaksa. Masalah efektifitas hukum dalam hubungan internasional ini menimbulkan dua konsekuensi yang secara diameteral saling bertolak-belakang. Pertama, struktur hukum nasional lebih tinggi dari pada hukum internasional. Pemahaman ini membawa implikasi hukum internasional terhadap kebijakan domestik suatu negara akan diukur berdasarkan sistem hukum nasional. Di sini hukum internasional baru akan berlaku jika tidak bertentangan dengan kaedah hukum nasional. Agar berlaku, hukum internasional juga perlu diadopsi terlebih dahulu menjadi hukum nasional, yaitu suatu proses yang dilakukan antara lain melalui ratifikasi. Dasarnya adalah doktrin hukum pacta sunc servanda di mana perjanjian berlaku sebagai hukum bagi para pihak. Perjanjian merefleksikan itikad bebas yang dicapai secara sukarela oleh subjek hukum internasional yang memiliki kesetaraan satu sama lain. Sebaliknya, hukum dinilai tidak dapat berfungsi secara efektif jika tidak ada keinginan negara untuk tunduk di bawah ketentuan yang diaturnya. Kemudian pemahaman kedua sementara itu mendalilkan bahwa hukum internasional otomatis berlaku sebagai kaedah hukum domestik yang mengikat negara tanpa melalui proses adopsi menjadi hukum nasional. Menurut paradigma ini, hukum internasional merupakan fondasi tertinggi yang mengatur hubungan antarnegara. Sumber kekuatan mengikat hukum internasional adalah prinsip hukum alam(costumary) yang menempatkan akal sehat masyarakat internasional sebagai cita-cita dan sumber hukum ideal yang tertinggi. Terlepas dari ada atau tidaknya persetujuan ini, secara yuridis negara dapat terikat oleh prinsip hukum internasional yang berlaku universal atau oleh kaedah kebiasaan internasional. Customary itu sendiri membuktikan bahwa praktek negara atas sesuatu hal yang sama dan telah mengkristal, sehingga diakui oleh masyarakat internasional memiliki implikasi hukum bagi pelanggaran terhadapnya.

Penutup

Pembahasan tentang hukum internasional tidak akan pernah berakhir itu disebabkan eksistensi hukum internasional bersinggungan langsung dengan peristiwa internasional yang selalu menimbulkan hal-hal baru, kedaulatan sesuatu negara selalu menjadi polemik tiada henti dalam aplikasi hukum internasional itu sendiri. Hukum internasional mempunyai lahan yang sangat luas ini dikarenakan menyangkut pelbagai macam aspek kehidupan seperti ekonomi, sosial, politik dan sebagainya. Hukum internasional juga mencakup hukum laut dan udara yang bukan teritorial negara tertentu, dan juga hukum pada waktu perang serta lain sebagainya.

(Tulisan ini dikutip dari: http://gendoetblog.blogspot.com/2009/01/hubungan-internasional-dan-organisasi.html)

Daftar Bacaan

Suryokusumo, Sumaryo,.(1995) Hukum Diplomatik Teori dan Kasus, Bandung: Alumni.

Soekanto, Soerjono,.(1993) Sendi-sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum, Bandung: Citra Aditya.

Mahmud, Abdul Ghani,.(2003) Al-Qonun al-Dauli al-A’mm, Cairo : Dar el-Nahdlah el-Arabia.

Convention on the Prevention and Punishment of Crimes Against Internationally Protected Persons (1973)


Latar Belakang dan Sejarah 

Convention on the Prevention and Punishment of Crimes Against Internationally Protected Persons (1973) adalah salah satu dari 12 perjanjian-perjanjian internasional yang dikaji oleh PBB sebagai pusat pengkajian akan perjanjian-perjanjian internasional terkait tentang masalah terorisme. Konvensi ini mulai berlaku pada tanggal 20 Februari 1977.
Konvensi mengenai pencegahan dan penghukuman kejahatan terhadap orang yang dilindungi secara internasional, termasuk agen diplomatik (juga disebut sebagai “Konvensi Perlindungan Diplomat”) ini diadopsi oleh majelis umum PBB pada tanggal 14 Desember 1973. Ini adalah salah satu dari serangkaian “sektoral” anti-terorisme yang dinegosiasikan dalam konvensi PBB dan badan-badan khusus. Dibangun atas kodifikasi besar konvensi di bidang hak-hak istimewa dan kekebalan, termasuk Konvensi Wina mengenai hubungan diplomatik dan konsuler. Pada bulan Februari 1971, organisasi negara-negara Amerika telah mengadopsi sebuah konvensi sebagai subjek. Konvensi ini dinegosiasikan dalam menanggapi serentetan penculikan dan pembunuhan agen diplomatik yang dimulai pada akhir 1960-an, seperti pembunuhan von Spreti, Duta Besar Republik Federal Jerman di Guatemala. Adopsi konvensi sektoral biasanya terjadi sebagai tanggapan terhadap peristiwa-peristiwa seperti: pembajakan pesawat, pesawat sabotase, serangan pada pengiriman, dan lain-lain.

Konvensi ini diuraikan selama hanya dua tahun, dengan kerjasama yang erat antara Komisi Hukum Internasional (ILC) dan Komite Keenam Majelis Umum PBB. Inisiatif untuk konvensi berasal dari ILC, yang pada sesi dengan 1971, atas usul dari anggota Amerika, Richard D. Kearney, memutuskan bahwa, jika majelis begitu diminta, akan menyiapkan rancangan artikel tentang kejahatan seperti pembunuhan, penculikan dan serangan pada diplomat dan orang lain berhak mendapat perlindungan khusus di bawah hukum internasional. beberapa tahun sebelumnya, majelis umum pernah meminta ILC untuk menyiapkan artikel tersebut. ILC begitu cepat, pada sesi berikutnya pada tahun 1972, tanpa beralih pada prosedur yang biasa menunjuk pelapor khusus. Sebaliknya, Jepang, Senjin Tsuruoka, memimpin kelompok kerja. Setelah pada awalnya mempertimbangkan masalah kemudian pada tahun 1972, Komite keenam menyelesaikan tahap negosiasi antar pemerintah dalam perjalanan dari sesi reguler pada tahun 1973, banyak pekerjaan yang dilakukan dalam Panitia Penyusunan Komite Keenam.

Istilah “orang-orang yang dilindungi secara internasional” adalah baru dan tidak memiliki arti khusus di luar konteks Konvensi. Tujuannya adalah untuk menutupi semua orang berhak berdasarkan hukum internasional untuk perlindungan khusus dari setiap serangan terhadap orang nya, kebebasan dan martabat. Ini mencerminkan bahasa pasal 29 dari Konvensi Wina mengenai Hubungan Diplomatik dan artikel yang sesuai konvensi lain mengenai hak istimewa dan kekebalan. Definisi dalam pasal 1 secara tegas mencakup Kepala Negara, Kepala Pemerintahan dan Menteri Luar Negeri, sehingga menegaskan kembali posisi khusus ketiga pemegang jabatan.

Tujuan
Kejahatan terhadap agen diplomatik dan orang lain yang dilindungi secara internasional membuat ancaman serius terhadap pemeliharaan hubungan internasional normal yang diperlukan untuk kerjasama antara Tujuan Konvensi ini adalah untuk menetapkan langkah-langkah efektif untuk pencegahan dan hukuman atas kejahatan yang dilakukan.
Ketentuan Konvensi
Konvensi berlaku untuk kejahatan keterlibatan langsung atau keterlibatan dalam pembunuhan, penculikan, atau serangan, apakah sebenarnya, mencoba atau terancam, pada orang, tempat-tempat resmi, akomodasi swasta atau sarana transportasi agen diplomatik dan lain “orang-orang yang dilindungi secara internasional”. Orang yang dilindungi secara internasional didefinisikan sebagai Kepala Negara atau Pemerintah, Menteri Luar Negeri, pejabat negara dan wakil-wakil dari organisasi internasional berhak mendapat perlindungan khusus di negara asing, dan keluarga mereka.

Pihak-pihak berkewajiban untuk menetapkan yurisdiksi atas pelanggaran-pelanggaran yang dijelaskan, yang mana pelaku pelanggaran-pelanggaran dihukum dengan hukuman yang sesuai, membawa pelaku ke dalam tahanan, menuntut atau mengekstradisi pelanggar terduga, bekerjasama dalamlangkah-langkah pencegahan dan bertukar informasi dan bukti yang diperlukan dalam proses pidana terkait. Sebagaimana dimaksud dalam Konvensi, bahwa yang dianggap sebagai pelanggaran patut diserahkan kepada pihak-pihak yang ada di bawah perjanjian ekstradisi, dan di bawah Konvensi itu sendiri.

Konvensi ini tertutup untuk masalah penandatanganan. Jika dilakukan, harus berserta ratifikasi oleh penandatanganan para anggota serikat. Namun, konvensi ini terbuka bagi setiap negara (Pasal 15 dan 16).

Siapa saja yang diduga sebagai pelaku penuntut, maka harus siap untuk menjalani keseluruhan proses dan harus menyampaikan hasil akhir kepada Sekretaris-Jenderal PBB (Pasal 11).

SPECIAL MISSION



Sejarah Mengenai Special Mission

Pada konvensi Wina mengenai hubungan diplomatik (1961), dan hubungan konsuler (1963) telah mengutamakan kodifikasi dari hukum kebiasaan internasional yang ada dapat diselesaikan, maka komisi hukum internasional PBB menyadari bahwa hubungan diplomatik bukan hanya terdiri dari masalah-masalah yang berkaitan dengan pertukaran misi yang sifatnya permanen, tapi juga menyangkut pengiriman utusan atau misi dengan tujuan terbatas yang dikenal sebagai diplomasi ad hoc.
Komisi hukum internasional kemudian meminta reporter khusus, Mr. Bartos untuk mempelajari masalah ini. Setelah mendapatkan laporannya, pada tahun 1960, komisi hukum internasional telah menyetujui satu rancangan tiga pasal mengenai “Misi Khusus” yang harus dimasukkan dalam konvensi mengenai hubungan diplomatik.
Mr. Bartos, sebagai reporter khusus yang ditunjuk oleh panitia hukum internasional PBB, ditugaskan untuk mempersiapkan draft artikel mengenai masalah itu, yang harus didasarkan pada ketentuan-ketentuan dalam konvensi Wina mengenai hubungan diplomatik dengan memperhatikan bahwa misi khusus yang karena sifat tugasnya haruslah dibedakan dengan misi diplomatik yang bersifat permanen.
Beberapa tahun setelah dibahas dalam Panitia Hukum Internasional dan dibicarakan secara panjang lebar dalam Komite VI majelis Umum PBB, maka dirumuskan 50 pasal yang kemudian pada 1967 disampaikan dalam sidang Majelis Umum yang ke-24. Majelis Umum PBB pada 8 Desember 1969 telah menyetujui Resolusi 2530 (XXIV) yang menyertakan teks konvensi mengenai misi khusus dan menyatakan terbuka untuk penandatanganan, ratifikasi dan aksesi.
Konvensi mengenai misi khusus ini merupakan pelengkap Konvensi Wina 1961 dan 1963, dimaksudkan agar dapat menjadi sumbangan bagi pengembangan hubungan baik semua negara. Konvensi New York 1969 beserta protokol pilihannya mengenai kewajiban untuk menyelesaikan pertikaian yang sudah berlaku sejak 21 Juni 1985 telah diratifikasi oleh 23 negara.
Penjelasan Spesifik Tentang Special Mission
Misi khusus dalam hukum initernasional ini didasarkan pada atau memiliki pijakan hukum pada Konvensi New York 1969 yang secara khusus membahas mengenai special mission atau misi khusus.
Mengenai kekebalan dari Misi Khusus (Special Missions) pengaturannya dikenal dengan  The Convention on Special Missions 1969. Dalam banyak hal negara-negara akan atau dapat mengirim dan mengutus misi khusus atau misi ad hoc ke negara-negara tertentu untuk membicarakan suatu isu yang telah ditentukan di samping mempercayakannya kepada staff perwakilan diplomatik dan konsuler yang sifatnya permanen. Dalam keadaan demikian utusan khusus (special missions) entah semata-mata bersifat teknis atau secara politis penting dapat mengandalkan adanya kekebalan-kekebalan tertentu yang pada dasarnya berasal (derived from) dari Konvensi-Konvensi Wina dengan cara menggunakan analogi disertai modifikasi seperlunya. Berdasarkan ketentuan pasal 8 dari the Convention on Special Missions 1969, negara pengirim harus membiarkan negara penerima (the host state) mengetahui besarnya (size) serta komposisi dari misi tersebut, sementara menurut pasal 17 misi tadi harus hadir di suatu tempat yang disetujui oleh negara-negara yang bersangkutan atau di Kementerian Luar Negeri dari negara penerima.
Berdasarkan ketentuan pasal 31 para anggota dari special missions tidak memiliki imunitas menyangkut klaim yang timbul dari suatu kecelakaan akibat suatu kendaraan yang digunakan di luar tugas resmi dari orang yang bersangkutan dan berdasarkan ketentuan pasal 27 maka kebebasan bergerak dan bepergian yang diperkenankan hanyalah kebebasan bergerak dan bepergian yang diperlukan untuk menjalankan fungsi-fungsi dari misi khusus.
Adapun pengertian misi khusus yang terdapat dalam konvensi Tahun 1969 tersebut adalah “Misi Khusus (special mission) ialah suatu misi yang bersifat sementara, mewakili negara, yang dikirim oleh suatu negara ke negara lain atas persetujuan negara terakhir untuk tujuan menyelesaikan persoalan khusus.”
Selain istilah misi khusus, terdapat istilah lain lagi dalam konvensi ini, yaitu :
  • Misi Diplomatik Permanen (Permanent diplomatic mission) ialah suatu misi diplomatik dalam artian seperti yang tercantum pada konvensi Wina mengenai hubungan diplomatik.
  • Pos Konsuler (consular post) adalah suatu konsulat jenderal, konsulat, wakil konsulat atau perwakilan konsulat.
  • Kepala Misi Khusus (head of a special mission) adalah orang yang diberi kekuasaan oleh negara pengirim melakukan tugas untuk bertindak dalam kapasitas itu.
  • Seorang wakil negara pengirim (representative of the sending state in the special mission) dalam misi khusus, adalah setiap orang, yang oleh negara pengirim diberi tugas untuk bertindak dalam kapasitas itu.
  • Anggota-anggota misi khusus (member of a special mission) ialah kepala misi khusus, wakil-wakil negara pengirim di dalam misi khusus, dan anggota-anggota staf misi khusus.
  • Anggota-anggota staaf misi khusus (member of the staff of the mission) adalah anggota-anggota staf diplomatik, staf administrasi dan teknik dan staf pelayanan khusus.
  • Anggota-anggota staf diplomatik (members of the diplomatic staff)adalah anggota-anggota staf misi khusus yang mempunyai status diplomatik untuk keperluan misi khusus.
  • Anggota-anggota taf administrasi dan teknik (members of the administrative and technical staff) adalah anggota-anggota staf misi khusus yang dipekerjakan dalam pelayanan administrasi dan teknik misi khusus.
  • Anggota-anggota staf pelayanan (members of the service staff) ialah anggota-anggota staf misi khusus, yang dipekerjakan sebagai pekerja rumah tangga atau tugas-tugas serupa.
  • Staf pribadi (private staff) adalah orang-orang yang dipekerjakan khusus dalam pelayanan pribadi anggota-anggota misi khusus.
Tugas-tugas misi khusus dimulai saat misi mengadakan hubungan resmi dengan menteri luar negeri atau dengan instansi lain negara penerima sebagaimana telah disetujui. Permulaan tugas misi khusus tidak tergantung pada presentasi misi oleh misi diplomatik permanen negara pengirim atau pada penyerahan surat-surat kepercayaan atau kekuasaan penuh
Misi khusus secara jelas mempunyai tugas dan fungsi, yaitu sebagai berikut :
  1. Tugas misi khusus ini, sudah ditegaskan dalam pasal 2 konvensi, bahwa tugas misi khusus ditentukan oleh persetujuan bersama antara negara pengirim dan negara penerima.
  2. Kepala misi khusus, atau, kalau negara pengirim tidak mengangkat seorang kepala, seorang wakil negara pengirim, yang oleh negara itu ditunjuk berhak bertindak atas nama misi khusus dan untuk menyampaikan komunikasi kepada negara penerima. Negara penerima menyampaikan komunikasi yang menyangkut misi khusus kepada kepala misi khusus, atau kalau tidak ada, kepala utusan yang disebut diatas, baik secara langsung maupun lewat misi diplomatik permanen.
  3. Akan tetapi, seorang misi khusus dapat diberi kuasa oleh negara pengirim, oleh kepala misi khusus, atau wakil yang disebut di atas, baik mengganti kepala misi atau wakil diatas atau melakukan tindakan tertentu atas nama misi (pasal 14).
Keistimewaan dari misi khusus adalah  terdapat dalam pasal 21 Status of the head of state and persons of high rank, konvensi menentukan:
a)      Kepala negara pengirim, jika memimpin misi khusus di negara penerima atau di negara ketiga menikmati hak-hak istimewa dan kekebalan diplomatik yang diberikan menurut hukum internasional kepada kepala-kepala negara yang sedang berkunjung.
b)      Kepala pemerintahan, menteri luar negeri dan lain-lain orang yang berpangkat tinggi, jika ikut serta dalam misi khusus negara pengirim, di negara penerima atau negara ketiga, sebagai tambahan pada apa yang diberikan oleh konvensi ini, fasilitas, hak-hak dan kekebalan yang ditentukan oleh hukum internasional.
c)      Negara penerima memberikan kepada misi khusus fasilitas-fasilitas yang diperlukan untuk melaksanakan tugas-tugasnya dengan memperhatikan sifat serta tugas misi (pasal 22).
d)      Negara penerima membantu misi khusus, jika diminta dalam pengadaan gedung misi dan mendapatkan akomodasi yang diperlukan untuk anggota-anggotanya (pasal 23).
Kemudian dalam pasal 24 konvensi mengenai Extemption of the premises of the special mission from taxation,menetapkan:
a.       Sampai batas-batas yang sesuai dengan sifat dan waku tugas-tugas yang dilaksanakan oleh misi khusus dibebaskan dari pungutan dan pajak nasional, regional dan kota praja, sehubungan dengan gedung yang ditempati misi, selain pembayaran-pembayaran untuk pelayanan-pelayanan yang diberikan.
b.      Pembebasan pajak yang disebut dalam pasal ini tidak berlaku bagi pungutan dan pajak-pajak yang harus dibayar menurut Undang-undang negara penerima oleh orang-orang yang mengadakan kontrak dengan negara pengirim atau dengan anggota misi khusus.
Cara-cara pengiriman misi khusus adalah sebagai berikut :
·         Suatu negara dapat mengirim misi khusus ke negara lain dengan persetujuan negara terakhir, yang didapatkan sebelumnya melalui saluran diplomatik atau persetujuan bersama (pasal 2).
·         Bisa juga dilakukan, suatu negara yang hendak mengirim satu misi khusus kepada dua negara atau lebih memberi tahu negara penerima masing-masing pada waktu minta persetujuan (pasal 4).
·         Dua negara atau lebih yang hendak mengirim suatu misi khusus bersama kepada negara lain akan memberi tahu negara pengirim, pada waktu meminta persetujuan negara itu (pasal 5).
·         Dua negara atau lebih dapat pada waktu yang bersamaan mengirim suatu misi khusus kepada negara lain dengan persetujuan yang diperolehnya dari negara itu sesuai dengan pasal 2, untuk merundingkan bersama-sama, persoalan yang menyangkut kepentingan bersama, dengan persetujuan semua negara ini (pasal 6).
Tugas misi khusus berakhir antara lain berdasarkan pada (Pasal 20):
a)      Persetujuan negara-negara yang bersangkutan
b)      Penyelesaian tugas misi khusus
c)      Berakhirnya waktu yang dijadwalkan untuk misi khusus, kecuali bila ada perpanjangan waktu
d)      Pemberitahuan negara pengirim bahwa misi khusus diakhiri atau dipanggil kembali
e)      Pemberitahuan dari negara penerima, bahwa ia menganggap bahwa misi khusus telah berakhir
Selain itu dengan pemutusan hubungan diplomatik atau konsuler antara negara pengirim dan negara penerima tidak akan menyebabkan berakhirnya misi khusus yang sedang bertugas saat pemutusan hubungan.
Fungsi Misi Khusus baru berakhir bila tugas-tugas misi khusus berakhir, negara penerima harus menghormati dan melindungi misi khusus selama diperlukan untuk keperluan itu. Hak milik dan arsip di dalam batas waktu yang pantas. Selain itu juga jika Dalam keadaan tidak ada atau putusnya hubungan diplomatik atau konsuler antara kedua negara pengirim dan negara penerima dan jika tugas-tugas misi khusus berakhir, negara pengirim dapat, meskipun dalam keadaan konflik bersenjata, menyerahkan kekuasaan terhadap hal milik dan arsip misi khusus kepada negara ketiga yang dapat disetujui negara penerima (pasal 46).
Sumber:
Yang mengutip:
Convention of Special Mission 1969
KASUS 
VIVAnews – Suatu misi rahasia Inggris di Libya, yang melibatkan pasukan khusus SAS dan agen intelijen MI6, berakhir memalukan. Jadi korban salah paham, mereka sempat ditahan pasukan anti rezim Muammar Khadafi, pihak yang seharusnya mereka bantu. Kabar itu dilontarkan secara implisit oleh pejabat Inggris. Misi rahasia itu disebut sebagai “tim diplomatik.”
“Saya bisa pastikan bahwa suatu tim diplomatik Inggris telah tiba di Benghazi,” kata Menteri Luar Negeri Inggris, William Hague, seperti dikutip harian The Guardian, Minggu 6 Maret 2011. “Tim itu pergi ke Libya untuk menjalin kontak dengan kubu oposisi. Mereka mengalami kesulitan, yang telah diselesaikan secara memuaskan. Mereka kini telah meninggalkan Libya,” kata Hague.
Dia tidak menjelaskan secara rinci tugas “tim diplomatik” Inggris itu di Libya. Namun, kalangan media massa Inggris mendapat bocoran percakapan antara Duta Besar Inggris untuk Libya, Richard Northern, dan seorang pejabat senior Libya yang memberontak.
Hasil percakapan lewat telepon itu mengungkapkan misi rahasia Inggris yang berakhir memalukan. Menurut bocoran yang juga diterima The Guardian, misi rahasia beranggotakan enam pasukan SAS dan dua agen MI6 sempat ditahan oleh pasukan pemberontak di Libya setelah mendarat dengan helikopter empat hari lalu.
Mereka diberangkatkan dari kapal fregat HMS Cumberland, yang berlabuh di kota terbesar kedua Libya, Benghazi, yang menjadi basis pemberontakan anti Khadafi. Tugas utama kapal itu adalah mengevakuasi warga Inggris dan sesama warga Uni Eropa dari Libya, yang dilanda pergolakan anti Khadafi sejak 15 Februari lalu.
Kapal HMS Cumberland juga mendapat tugas khusus, yaitu memberangkatkan misi rahasia untuk menjalin kontak dengan pihak pemberontak. Namun, menurut percakapan Dubes Inggris dengan pihak pemberontak, misi itu tidak berjalan mulus karena terjadi kesalahpahaman.
“Mereka membuat kesalahan besar, datang dengan helikopter di wilayah terbuka,” kata pimpinan pemberontak, yang tidak disebutkan namanya, kepada Northern. “Saya pun tidak tahu dengan cara apa mereka ke sana,” lanjut Northern.
Ironisnya, tim rahasia Inggris itu sempat disangka sebagai pasukan bayaran pro Khadafi. Pasalnya, Khadafi diketahui mengerahkan milisi-milisi bayaran untuk menghadapi pemberontak.
“Khadafi membawa ribuan tentara bayaran untuk membunuh kami. Sebagian besar pakai paspor asing. Jadi bagaimana kami bisa tahu siapa orang-orang itu,” kata seorang sumber The Guardian, merujuk kehadiran misterius tim khusus Inggris dengan helikopter.
Tak heran bila mereka langsung ditangkap pemberontak begitu tiba di suatu gurun, yang terletak 30 km dari barat daya Benghazi. Pihak pemberontak pun mengaku tidak mau langsung percaya bahwa mereka adalah utusan dari Inggris.
“Mereka mengaku warga Inggris dan paspor mereka memang berasal dari Inggris. Namun, orang-orang Israel pun menggunakan paspor Inggris saat membunuh seseorang di Dubai tahun lalu,” ujar sumber itu, merujuk aksi pembunuhan dinas intelijen Israel, Mossad, atas seorang aktivis politik Palestina di Dubai, Uni Emirat Arab.
Namun, setelah mendapat verifikasi dari pemerintah Inggris, tim khusus itu akhirnya dibebaskan dan telah meninggalkan Libya. Menurut sumber pemerintah Inggris di London, mereka dikirim untuk mempelajari lebih lanjut kemampuan pasukan anti Khadafi dan kebutuhan apa yang mereka perlukan.
Namun, Inggris tidak akan memberi mereka senjata, karena masih berlaku larangan pengiriman senjata ke Libya.
Sementara itu, kalangan politisi di London menyayangkan munculnya kabar misi yang memalukan itu. “Ini menimbulkan kekecewaan dan memalukan bagi Whitehall [sebutan bagi kantor pemerintah Inggris],” kata mantan pemimpin Partai Liberal Demokrat, Sir Menzies Campbell seperti dikutip The Telegraph.
“Merujuk pada bocoran percakapan antara duta besar dengan pemberontak, ini jelas menunjukkan bahwa pengaruh Inggris di Libya telah terganggu oleh aksi-aksi demikian,” lanjut Campbell. (sj)